بسم الله
الرحمن الرحيم
( INDAHNYA KEHIDUPAN SOSIAL )
Manusia sebagai “Makhluk Sosial” memiliki beragam cara dan tradisi
dalam bergaul dan memperlakukan sesama mereka. Antara satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lain, mempunyai ciri khas tersendiri
dalam bergaul. Panutan kita Baginda Rosul صلى الله عليه وسلم
adalah sosok yang sangat baik dalam bergaul. Cara beliau
bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya tak perlu diragukan lagi.
Beliau tak pernah mencela makanan apapun, tak pernah membentak pembantu
siapapun, dan tak pernah berlaku kasar terhadap perempuan manapun. Beliau
sangat menghormati siapapun yang memiliki kelebihan. Kasih sayangnya terhadap umatnya melebihi kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
Lantas, bagaimanakah cara kita bergaul dengan orang-orang sekitar
menurut tuntunan Allah dan RosulNya?
Kalau kita berbicara tentang bagaimana cara Baginda Rosul صلى الله عليه وسلم bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, takan pernah cukup waktu
untuk menggali dan mempelajarinya. Secara technical, beliau bergaul dengan
tradisi dan budaya Bangsa Arab yang disempurnakan dengan cara Islam mengunakan
batasan-batasan tertentu. Islam tak pernah mempermasalahkan tradisi dan budaya
Bangsa manapun selama tidak melanggar batasan-batasan tersebut. Dan diantara
batasan-batasan Islam dalam bergaul adalah Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi, dan Hakim, dari Shohabat Ibnu ‘Amr:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَـرْحَمْ صَغِيْرَنَا
وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan
kami orang yang tidak menyayangi orang yang lebih kecil (muda/rendah) diantara
kami, dan tidak mengetahui kemuliaan orang yang lebih besar (tua/tinggi) diantara
kami.”
Rosul tidak menyuruh kita
mengangkat tangan kala bertemu orang lain (seperti cara orang barat menyapa). Atau menyuruh kita membungkukkan badan (seperti cara orang
Jepang/Cina). Atau menyuruh kita menyilangkan tangan di dada (seperti cara
orang India). Dan tidak pula menyuruh kita menyilangkan tangan di depan wajah
sambil membungkuk (seperti cara orang Jawa). Rosul hanya menyuruh kita
menyayangi yang lebih kecil (muda/rendah) dan menghormati yang lebih besar
(tua/tinggi). Terserah bagaimana caranya, selama tidak melanggar
batasan-batasan Islam yang lain. Tidak dibenarkan kita menghormati orang lain
dengan cara bersujud seperti cara kita mengagungkan Allah dalam Sholat. Dan
tidak dibenarkan pula kita menyayangi orang lain dengan cara semisal memberinya
makanan yang tidak layak.
Besar, kecil, tua, muda,
tinggi, dan rendah seseorang tidak dibatasi umur, pangkat, atau kedudukan. Bisa
jadi seseorang memiliki kekurangan dari satu sisi, namun memiliki kelebihan di
sisi lainnya. Hendaknya kelebihan dari seseorang tersebut menjadi acuan kita
dalam bergaul. Suatu contoh: kala kita bertemu dengan orang yang umurnya jauh
lebih muda dari kita, mungkin seumuran anak atau bahkan cucu kita, namun dia
memiliki kelebihan dalam hal ilmu pengetahuan, atau dia adalah putra, cucu,
atau keluarga guru kita, atau seandainya dalam kedudukan keluarga dia memiliki
kelebihan semisal paman atau kakak sepupu, maka hormatilah dia. Begitupun
dikala kita bertemu dengan orang yang kemampuan secara ilmiahnya jauh dibawah
kita, murid atau umat kita, atau dalam kedudukan dia lebih rendah dari kita
semisal keponakan atau adik sepupu, namun umurnya lebih tua dari kita, maka
hormatilah dia.
Sebaliknya, kalau kita
memandang seseorang dari sisi kekurangannya, semisal beranggapan: walaupun dia
Ustadz atau kiyai, tapi umurnyakan jauh dibawah saya, atau: dia kan
adik/keponakan saya, atau: diakan rakyat saya, dan seterusnya, maka yang lahir
adalah sifat merendahkan yang tumbuh dalam hati kita. Allah sendiri tak pernah
memanggil Baginda Rosul صلى الله عليه وسلم dengan
menggunakan namanya semisal: Yaa Muhammad! atau Yaa Ahmad! Mengingat kelebihan
yang Allah berikan padanya. Dalam Al-Qur`an Allah memanggil beliau dengan gelar
yang disandangnya semisal: Yaa Ayyuhannabiy! Yaa Ayyuharrosuul! Hendaknya hal
ini dijadikan bahan renungan dan pelajaran untuk kita.
Dikala bertemu dengan
orang yang tersesat, atau mungkin akhlaknya sudah rusak, maka jangan hinakan
dia atau membencinya. Kita justru harus mengasihani dan menyayanginya dengan
cara mendekati dan membimbingnya menuju jalan yang benar.
Alangkah indahnya hidup
ini andai kita bisa saling menghormati dan saling menyayangi, bukan malah
saling meremehkan atau saling membenci.
Oleh Abi Kayis
Al-Mahdawy
Semoga bermanfa’at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar