PERANG KEDONGDONG
Bukti
Heroisme Para Santri
Ilustrasi pertempuran melawan Belanda (Doc: Istimewa)
|
Sebuah pertempuran besar luput dari catatan sejarah nasional.
Pertempuran tersebut terjadi di Kedongdong (1793-1808), tujuh belas tahun sebelum pecahnya perang Diponegoro atau yang
lebih dikenal dengan Perang Jawa.
Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan
nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik,
karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan.
Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya
kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap
Belanda.
Pergolakan melawan belanda bertambah hebat, Setelah Pangeran
Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah
kolonial Belanda. Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama
rakyat untuk melakukan perlawanan.
Di bawah pimpinan sang pangeran, semangat rakyat semakin membara
sehingga pemberontakan sengit terjadi di mana-mana. Pasukan Belanda pun semakin
terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja
kehilangan ribuan nyawa prajuritnya, tapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden
untuk mendanai perang tersebut.
Dalam keadaan putus asa menghadapi
perlawanan rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta
tambahan pasukan, bahkan Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang
berada di Malaka, untuk membantu mereka meredam perlawanan rakyat Cirebon.
Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan
Belanda, yang di dukung oleh kekuatan tentara Portugis
di Pelabuhan Muara Jati, tidak membuat ciut perlawanan rakyat. Justru
sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin menjadi. Salah satu perang besar sekaligus monumental
ialah Perang Kedondong, terjadi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu.
Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu
dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.
Setelah menjalani pertempuran cukup lama (1793-1808), akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi
perlawanan rakyat secara frontal. Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan
semangat perlawanan rakyat. Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran
Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat
semakin berkobar.
Dalam
pemberontakan itu, melalui siasat licik Belanda, Pangeran Raja Kanoman
tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di Batavia (Jakarta),
sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria, di Ambon, Maluku.
Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh gelar darah birunya.
Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di Keraton Kanoman.
Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai Perang Jawa.
"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.
Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Kota Cirebon.
Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.
Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.
Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.
Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon, Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang bergelar Pangeran Raja Madenda I.
Walaupun luput dari catatan sejarah nasional, Perang Kedongdong
ternyata memiliki arti tersendiri bagi Belanda. Pertempuran yang memakan
kerugian besar bagi Belanda, baik harta maupun nyawa. Kecamuk Perang
Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda
bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa
Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.
Perlawanan yang diberikan oleh Pangeran Suryanegara beserta rakyat
Cirebon dalam Perang Kedongdong, dapat kita setarakan dengan sengitnya
perlawanan yang di berikan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun
Cut Nyak Dien. Karena itu sudah sepantasnya pertempuran tersebut dicatat dalam
sejarah sebagai pertempuran yang bersifat nasional bukan hanya sekedar
pertempuran masyarakat lokal.
Dalam salah satu catatan sejarah Kisah Heroik perjuangan Putra
Keraton Kanoman, rakyat, santri, dan kiyai di wilayah Cirebon terjadi dalam
rentang waktu 20 tahun (1753-1773), sementara dalam catatan yang lain
terjadi dalam rentang waktu 16 tahun (1802-1818).
Kerancuan yang terjadi akibat kurangnya perhatian pemerintah dalam menggali
sejarah perjuangan rakyat dalam membela kemerdekaan mereka dari cengkraman
penjajah.
Perang Kedongdong nyaris tak dikenal oleh generasi
muda masyarakat Cirebon dan sekitarnya, namun masih melekat dalam daya ingat
para sesepuh dan ahli sejarah lokal. Akankah kisah tersebut menguap seiring dengan berjalannya
waktu? Wallaahu A’lam.
Salah satu kisah asal muasal terjadinya Perang
Kedongdong yang penulis dapatkan adalah:
DETIK-DETIK TERJADINYA PERANG KEDONGDONG:
Sekitar akhir
abad 18-an, kedua Putra Panembahan Sepuh Jaenuddin II, yang baru datang dari
Pondok Pesantren itu merasakan ketidak nyamanan hidup dan tinggal di dalam
Istana. Menurut mereka sekarang Keraton itu sangat jauh berbeda bila
dibandingkan dengan kehidupannya dulu sewaktu mereka masih kecil dan tinggal
di dalamnya. Hampir setiap hari sekarang selalu dipenuhi dan didominasi orang-
orang bule atau inlander yang pro terhadap Pemerintah Kolonial Belanda.
Banyak Para
Pinangeran yang tidak senang dengan aturan yang sekarang, dimana Kedudukan
Sultan sebagai penguasa politik itu dihapus, Sultan hanya diberikan kedudukan
sebagai pengelola kesenian dan adat istiadat yang berjalan selama ini. Sultan
tidak mempunyai kewenangan apa-apa, bahkan sampai pengangkatan Pangeranpun
praktis tidak bisa, semuanya diatur oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai
gantinya Sultan mendapatkan subsidi atau gaji dan mendapatkan pensiun dari
Pemerintah Kolonial Belanda.
Adanya aturan
seperti itu praktis banyak para Pangeran yang tidak diperkenankan mendapatkan
Gelar kebangsawanan dari Pemerintah Kolonial Belanda, dan Belanda mewajibkan
para pinangeran yang tidak mendapatkan Besluit (SK) diharuskan menjadi Abdi
Dalem yang ditugaskan Pemerintah dan Sultan untuk terjun ke masyarakat dalam
rangka menangani masalah-masalah sosial, namun mereka tidak mendapatkan gaji
dari Pemerintah. Termasuk diantara para pinangeran yang tidak mendapatkan SK
itu adalah kedua putra Gusti Panembahan Sepuh Jaenuddin yakni Pangeran Penengah
Abul Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus Surya kusuma Jayanegara atau
Pangeran Aryajanegara (Gelar Pangeran itu pemberian langsung dari ayahandanya
saat mereka usianya masih kecil-kecil).
Sekitar akhir abad 18-an kedua putra mahkota itu memilih pergi meninggalkan
kehidupan Keraton untuk menemui seorang ulama sufi yang sudah masyhur di daerah
Cirebon dan sekitarnya: Kiyai Abdul Mukhyi namanya yang kemudian dikenal dengan
sebutan Ki Buyut Muji. Selang beberapa tahun kemudian mereka berdua dinikahkan
dengan anak-anak gadisnya Ki Buyut Muji.
Pangeran
Suryanegara dinikahkan dengan Nyai Layyinah, dan kemudian menurunkan anak
cucunya di daerah Mertasinga, sementara Pangeran Jayanegara dinikahkan dengan
adiknya yaitu Nyai Jamaliyah, dan menurunkan anak cucunya yang kebanyakan
tinggal di daerah Plered Cirebon, dan sebagian ada yang di Ciwaringin.
Pangeran
Suryanegara pada saat belajar/nyantri dulu adalah ahli dalam bidang ilmu alat
(Nahwu, Shorof, Manthiq, Balaghoh, Ma’ani, Bayan) atau ilmu yang dijadikan
salah satu syarat berijtihad dalam menentukan hukum-hukum Islam, karena yang
dapat menguasai ilmu tersebut sudah mampu untuk menafsiri Al-Quran dengan
benar. Sementara Pangeran Jayanegara adalah ahli dalam bidang ilmu fiqih,
sehingga beliau selalu berpesan kepada anak cucunya, harus menguasai ilmu
fiqih, paling tidak salah satu kitab fiqih Taqrib namanya itu harus bisa dan
menguasainya, agar wasiat eyang Gusti Sinuhun Kanjeng Sunan Gunung Jati “Ingsun
Titip Tajug lan Faqir Miskin” itu bisa dilaksanakan dengan benar. Disamping itu
juga Pangeran Jayanegara adalah seorang ahli dalam bidang penyusunan setrategi,
sementara Pangeran Suryanegara ahli dalam membuat Natijah atau
kesimpulan/keputusan. Klop sudah keahlian kedua putra Panembahan Sepuh itu
untuk menyusun apa saja, hasilnya sangat bagus.
Keahlian kedua
Pangeran itu rupanya didengar oleh kalangan Istana Keraton Kanoman. Begitu
mendengar ada seseorang yang sangat piawai dalam hal menyusun setrategi dan
masih dari kalangan Keraton yang pergi meninggalkan Istananya, maka oleh Putra
Mahkota Keraton Kanoman yang sudah sangat tidak cocok dengan semua aturan yang
ada, segera dimanfaatkan. Dengan membawa tekad yang bulat iapun pergi menemui
kedua Pangeran itu, untuk membicarakan semua unek-uneknya.
Kehadiran Putra
Mahkota ditempat kediaman Kedua Pangeran secara tiba-tiba itu sangat
mengejutkan Kiyai Abdul Muhyi mertuanya. Namun sebagai ulama sufi Kiyai itu
lebih baik diam dan menyimak saja pembicaraan mereka. Dalam pertemuan itu
obrolan mereka sangat menarik, karena ketiganya sama-sama ahli dalam bidang
Syari’at Islam dan sama-sama anti Kolonial Belanda yang telah menyusahkan
Cirebon.
Kesimpulan
obrolan dalam pertemuan tersebut antara lain:
Pertama:
sepakat perlu diadakan perlawanan, dengan alasan untuk mengembalikan kedudukan
Cirebon sebagai penguasa politik dan penentu kebijakan tradisi yang bersendikan
syariat Islam.
Kedua: sepakat
hal ini akan dikonsolidasikan dengan teman-teman nyantrinya dulu, seperti mbah
Muqoyyim, Jamaluddin Bukhori, Raden Atasangin, Sya’roni, Pangeran Arya
Sukmadiningrat, Syarif Abdur Rahman warga keturunan Arab yang mengadakan
kegiatan da’wahnya di wilayah Cirebon bagian Timur, dan lainnya.
Ketiga: semua
nama asli akan diganti dengan nama sandi, agar gerak-geriknya tidak di ketahui
baik oleh pihak keraton yang pro Belanda, maupun oleh pihak Pemerintah
Kolonial.
Hasil
kesepakatan itu tidak disia-siakan dan langsung diberitahukan kepada
teman-teman dan saudara, secara diam-diam. Setelah mereka berhasil dihubungi
kemudian mereka berkumpul lagi ditempat yang sama yaitu ditempat kediaman Kedua
Pangeran tersebut. Dan sekaligus malam itu juga (27 Maret 1801) tempat
pertemuan itu dikukuhkan sebagai Keraton Perjuangan atau Bayangan, kemudian
tersusunlah sebuah rancangan yang sangat bagus. Yakni Putra Mahkota Raja
Kanoman ditunjuk sebagai Panglima tertingginya, untuk Koordinator lapangan
ditunjuk Pangeran Suryanegara, untuk Penyusun setrategi ditunjuk Pangeran
Jayanegara, untuk Pimpinan Daerah ditunjuk mbah Muqoyyim dan dibantu
teman-temannya seperti Jamaludin Bukhori, Sya’roni, Pangeran Aryasukma Diningrat,
Syarif Abdur Rahman. Sebagai pendahuluan didalam perjuangan itu koordinator
daerah ditugaskan sebagai pengganggu setabilitas keamanan daerah.
Pada hari itu
juga mereka langsung merubah namanya, Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara
dan Pangeran Idrus Suryakusumah Jayanegara namanya dijadikan satu menjadi
Suryajanegara, Jamaludin Bukhori diganti menjadi Bagus Jabin, Raden Atasangin diganti menjadi nama panggilan atau singkatan pada saat nyantri dulu yaitu
Rangin artinya Raden Atasangin, kemudian dilengkapi dengan Bagus Rangin, dan
ada juga yang memanggil Raden Serangin, itu sebenarnya sama sebagai nama
julukan atau wadanan (Bahasa Cirebon), dan kemudian untuk Sya’roni sendiri
dirubah menjadi Serit atau Bagus Serit, karena Sya’roni itu artinya dua rambut,
sehingga dulu dijuluki pada saat nyantrinya dulu dengan nama Serit (Sisir
lembut untuk mencari kutu/Tuma). Sementara Aryasukma Diningrat dirubah menjadi
Arsitem. Syarif Abdur Rahman diganti menjadi Bagus Sidong.
Landasan
setrategi mereka dalam perjuangannya disusun dalam sebuah buku yang diberi
Judul “Mujarobat” (kepanjangan dari “Mujahidin poro Ahlul bait/ahli Keraton”)
dan agar buku itu tidak diketahui orang lain maka penulisnya ditulis dengan
nama “Arsiqum”. Di dalam kitab itu banyak berisi sandi-sandi yang hanya
dimengerti kalangan sendiri.
Markas Besar
pertama kali untuk menyusun setrategi perang melawan Belanda dan Pihak Keraton
itu berada di Desa Tengahtani tempat tinggalnya kedua Pangeran tersebut,
sekaligus dikukuhkan menjadi Keraton perjuangan (sampai saat ini nama itu masih
melekat dimasyarakat, dan dijadikan sebuah nama blok yaitu blok Keraton, adanya
dikomplek masjid Tengahtani).
Untuk lebih
memudahkan dalam berkomunikasi dengan kedua Pangeran itu, akhirnya sepakat nama
Suryajanegara itu untuk Pangeran Suryanegara, dan untuk Pangeran Jayanegaranya
sendiri lebih tepat diberi nama Rancang, sesuai dengan keahliannya yaitu
merancang, sehingga sampai sekarang nama itu dikenal oleh masyarakatnya yaitu
Buyut Rancang.
Kehidupan
mereka sehari-harinya adalah sebagai tokoh masyarakat yang disegani, punya
santri, punya pengajian, dan dakwah kedaerah-daerah. Seperti Jamaludin Bukhori
atau Bagus Jabin, dia punya santri jumlahnya ribuan. Raden Atasangin atau
Rangin punya santrinya juga ribuan, Sya’roni atau Serit juga mempunyai ribuan
santri, mbah Muqoyyim sama, begitu juga ke dua Pangeran, masing-masing punya
santri yang jumlahnya ribuan, sementara Raja Kanoman punya pengaruh sangat
besar. Dan hal ini dapat dibuktikan, melalui kerusuhan yang bersifat kecil-kecilan
di daerah-daerah, seperti di Kerawang atau daerah Pantura, Majalengka, Bandung,
Sumedang, Cimanuk dan beberapa daerah Cirebon.
Meski satu
persatu pemimpin pemberontakan itu tertangkap, namun tidak menyurutkan perlawanan
atau pemberontakan terhadap tindakan Pemerintah Kolonial Belanda, seperti yang
di alami pewaris takhta Kesultanan Keraton Kanoman yang diangkat sebagai
pemimpin tertinggi dalam pemberontakan karena menolak pajak yang
diterapkan Belanda, yang dapat memicu pemberontakan di beberapa tempat.
Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke benteng
Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut haknya sebagai Sultan
Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat Cirebon tidak juga reda,
Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dalam upaya
mengakhiri pemberontakan. Status kebangsawanan Pangeran Raja Kanoman pun
dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman tetap dicabut.
Sekembalinya ke Cirebon, pada 1808, Pangeran Raja Kanoman tinggal di kompleks
Gua Sunyaragi dan bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau
Sultan Carbon, walaupun tidak memiliki keraton. Sampai wafat nya pada 1814,
Sultan Carbon tetap konsisten dengan sikapnya dengan menolak uang pensiun dari
Belanda.
Begitu juga Bagus
Rangin tokoh masyarakat dari Bantarjati Majalengka, yang menentang dan memimpin
pemberontakan melawan Belanda pada Perang Cirebon tahun 1805-1812. Pada
1805 pertempuran pecah di daerah Pangumbahan, juga terjadi lagi di daerah
Karesidenan Cirebon dan pantai utara Jawa. Pasukan Bagus Rangin yang
berkekuatan ± 10.000 orang kalah dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda. Bagus
Rangin menerima hukuman penggal kepala di Cimanuk dekat Karangsembung Cirebon. Nama
Bagus Rangin saat ini diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Bandung dan
Cirebon.
Oleh: Abi Kayis
Al-Mahdawy (dari berbagai sumber)
Semoga
Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar