Pasang BENNER dan dapatkan dolar tiap kunjungan. Mau...? klik DI SINI

Referral Banners

Rabu, 09 April 2014

PERANG KEDONGDONG (Sejarah Perjuangan Rakyat Cirebon)

PERANG KEDONGDONG

Bukti Heroisme Para Santri


Ilustrasi pertempuran melawan Belanda (Doc: Istimewa)
Sebuah pertempuran besar luput dari catatan sejarah nasional. Pertempuran tersebut terjadi di Kedongdong (1793-1808), tujuh belas tahun sebelum pecahnya perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan Perang Jawa.

Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan. Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Pergolakan melawan belanda bertambah hebat, Setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah kolonial Belanda. Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama rakyat untuk melakukan perlawanan.

Di bawah pimpinan sang pangeran, semangat rakyat semakin membara sehingga pemberontakan sengit terjadi di mana-mana. Pasukan Belanda pun semakin terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan ribuan nyawa prajuritnya, tapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk mendanai perang tersebut.

Dalam keadaan putus asa menghadapi perlawanan rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan pasukan, bahkan Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang berada di Malaka, untuk membantu mereka meredam perlawanan rakyat Cirebon.

Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan Belanda, yang di dukung oleh kekuatan tentara Portugis di Pelabuhan Muara Jati, tidak membuat ciut perlawanan rakyat. Justru sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin menjadi. Salah satu perang besar sekaligus monumental ialah Perang Kedondong, terjadi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.

Setelah menjalani pertempuran cukup lama (1793-1808), akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi perlawanan rakyat secara frontal. Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan semangat perlawanan rakyat. Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar.

Dalam pemberontakan itu, melalui siasat licik Belanda, Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria, di Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di Keraton Kanoman.

Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai Perang Jawa.

"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.

Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Kota Cirebon.

Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.

Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.

Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.

Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon, Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang bergelar Pangeran Raja Madenda I.

Walaupun luput dari catatan sejarah nasional, Perang Kedongdong ternyata memiliki arti tersendiri bagi Belanda. Pertempuran yang memakan kerugian besar bagi Belanda, baik harta maupun nyawa. Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.

Perlawanan yang diberikan oleh Pangeran Suryanegara beserta rakyat Cirebon dalam Perang Kedongdong, dapat kita setarakan dengan sengitnya perlawanan yang di berikan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun Cut Nyak Dien. Karena itu sudah sepantasnya pertempuran tersebut dicatat dalam sejarah sebagai pertempuran yang bersifat nasional bukan hanya sekedar pertempuran masyarakat lokal.

Dalam salah satu catatan sejarah Kisah Heroik perjuangan Putra Keraton Kanoman, rakyat, santri, dan kiyai di wilayah Cirebon terjadi dalam rentang waktu 20 tahun (1753-1773), sementara dalam catatan yang lain terjadi dalam rentang waktu 16 tahun (1802-1818). Kerancuan yang terjadi akibat kurangnya perhatian pemerintah dalam menggali sejarah perjuangan rakyat dalam membela kemerdekaan mereka dari cengkraman penjajah.

Perang Kedongdong nyaris tak dikenal oleh generasi muda masyarakat Cirebon dan sekitarnya, namun masih melekat dalam daya ingat para sesepuh dan ahli sejarah lokal. Akankah kisah tersebut menguap seiring dengan berjalannya waktu? Wallaahu A’lam.

Salah satu kisah asal muasal terjadinya Perang Kedongdong yang penulis dapatkan adalah:

DETIK-DETIK TERJADINYA PERANG KEDONGDONG:

Sekitar akhir abad 18-an, kedua Putra Panembahan Sepuh Jaenuddin II, yang baru datang dari Pondok Pesantren itu merasakan ketidak nyamanan hidup dan tinggal di dalam Istana. Menurut mereka sekarang Keraton itu sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan kehidupannya dulu sewaktu mereka masih kecil dan tinggal di dalamnya. Hampir setiap hari sekarang selalu dipenuhi dan didominasi orang- orang bule atau inlander yang pro terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. 

Banyak Para Pinangeran yang tidak senang dengan aturan yang sekarang, dimana Kedudukan Sultan sebagai penguasa politik itu dihapus, Sultan hanya diberikan kedudukan sebagai pengelola kesenian dan adat istiadat yang berjalan selama ini. Sultan tidak mempunyai kewenangan apa-apa, bahkan sampai pengangkatan Pangeranpun praktis tidak bisa, semuanya diatur oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai gantinya Sultan mendapatkan subsidi atau gaji dan mendapatkan pensiun dari Pemerintah Kolonial Belanda.

Adanya aturan seperti itu praktis banyak para Pangeran yang tidak diperkenankan mendapatkan Gelar kebangsawanan dari Pemerintah Kolonial Belanda, dan Belanda mewajibkan para pinangeran yang tidak mendapatkan Besluit (SK) diharuskan menjadi Abdi Dalem yang ditugaskan Pemerintah dan Sultan untuk terjun ke masyarakat dalam rangka menangani masalah-masalah sosial, namun mereka tidak mendapatkan gaji dari Pemerintah. Termasuk diantara para pinangeran yang tidak mendapatkan SK itu adalah kedua putra Gusti Panembahan Sepuh Jaenuddin yakni Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus Surya kusuma Jayanegara atau Pangeran Aryajanegara (Gelar Pangeran itu pemberian langsung dari ayahandanya saat mereka usianya masih kecil-kecil).

Sekitar akhir abad 18-an kedua putra mahkota itu memilih pergi meninggalkan kehidupan Keraton untuk menemui seorang ulama sufi yang sudah masyhur di daerah Cirebon dan sekitarnya: Kiyai Abdul Mukhyi namanya yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Buyut Muji. Selang beberapa tahun kemudian mereka berdua dinikahkan dengan anak-anak gadisnya Ki Buyut Muji.

Pangeran Suryanegara dinikahkan dengan Nyai Layyinah, dan  kemudian menurunkan anak cucunya di daerah Mertasinga, sementara Pangeran Jayanegara dinikahkan dengan adiknya yaitu Nyai Jamaliyah, dan menurunkan anak cucunya yang kebanyakan tinggal di daerah Plered Cirebon, dan sebagian ada yang di Ciwaringin.

Pangeran Suryanegara pada saat belajar/nyantri dulu adalah ahli dalam bidang ilmu alat (Nahwu, Shorof, Manthiq, Balaghoh, Ma’ani, Bayan) atau ilmu yang dijadikan salah satu syarat berijtihad dalam menentukan hukum-hukum Islam, karena yang dapat menguasai ilmu tersebut sudah mampu untuk menafsiri Al-Quran dengan benar. Sementara Pangeran Jayanegara adalah ahli dalam bidang ilmu fiqih, sehingga beliau selalu berpesan kepada anak cucunya, harus menguasai ilmu fiqih, paling tidak salah satu kitab fiqih Taqrib namanya itu harus bisa dan menguasainya, agar wasiat eyang Gusti Sinuhun Kanjeng Sunan Gunung Jati “Ingsun Titip Tajug lan Faqir Miskin” itu bisa dilaksanakan dengan benar. Disamping itu juga Pangeran Jayanegara adalah seorang ahli dalam bidang penyusunan setrategi, sementara Pangeran Suryanegara ahli dalam membuat Natijah atau kesimpulan/keputusan. Klop sudah keahlian kedua putra Panembahan Sepuh itu untuk menyusun apa saja, hasilnya sangat bagus.

Keahlian kedua Pangeran itu rupanya didengar oleh kalangan Istana Keraton Kanoman. Begitu mendengar ada seseorang yang sangat piawai dalam hal menyusun setrategi dan masih dari kalangan Keraton yang pergi meninggalkan Istananya, maka oleh Putra Mahkota Keraton Kanoman yang sudah sangat tidak cocok dengan semua aturan yang ada, segera dimanfaatkan. Dengan membawa tekad yang bulat iapun pergi menemui kedua Pangeran itu, untuk membicarakan semua unek-uneknya.

Kehadiran Putra Mahkota ditempat kediaman Kedua Pangeran secara tiba-tiba itu sangat mengejutkan Kiyai Abdul Muhyi mertuanya. Namun sebagai ulama sufi Kiyai itu lebih baik diam dan menyimak saja pembicaraan mereka. Dalam pertemuan itu obrolan mereka sangat menarik, karena ketiganya sama-sama ahli dalam bidang Syari’at Islam dan sama-sama anti Kolonial Belanda yang telah menyusahkan Cirebon.

Kesimpulan obrolan dalam pertemuan tersebut antara lain:
Pertama: sepakat perlu diadakan perlawanan, dengan alasan untuk mengembalikan kedudukan Cirebon sebagai penguasa politik dan penentu kebijakan tradisi yang bersendikan syariat Islam.
Kedua: sepakat hal ini akan dikonsolidasikan dengan teman-teman nyantrinya dulu, seperti mbah Muqoyyim, Jamaluddin Bukhori, Raden Atasangin, Sya’roni, Pangeran Arya Sukmadiningrat, Syarif Abdur Rahman warga keturunan Arab yang mengadakan kegiatan da’wahnya di wilayah Cirebon bagian Timur, dan lainnya.
Ketiga: semua nama asli akan diganti dengan nama sandi, agar gerak-geriknya tidak di ketahui baik oleh pihak keraton yang pro Belanda, maupun oleh pihak Pemerintah Kolonial.

Hasil kesepakatan itu tidak disia-siakan dan langsung diberitahukan kepada teman-teman dan saudara, secara diam-diam. Setelah mereka berhasil dihubungi kemudian mereka berkumpul lagi ditempat yang sama yaitu ditempat kediaman Kedua Pangeran tersebut. Dan sekaligus malam itu juga (27 Maret 1801) tempat pertemuan itu dikukuhkan sebagai Keraton Perjuangan atau Bayangan, kemudian tersusunlah sebuah rancangan yang sangat bagus. Yakni Putra Mahkota Raja Kanoman ditunjuk sebagai Panglima tertingginya, untuk Koordinator lapangan ditunjuk Pangeran Suryanegara, untuk Penyusun setrategi ditunjuk Pangeran Jayanegara, untuk Pimpinan Daerah ditunjuk mbah Muqoyyim dan dibantu teman-temannya seperti Jamaludin Bukhori, Sya’roni, Pangeran Aryasukma Diningrat, Syarif Abdur Rahman. Sebagai pendahuluan didalam perjuangan itu koordinator daerah ditugaskan sebagai pengganggu setabilitas keamanan daerah.

Pada hari itu juga mereka langsung merubah namanya, Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus Suryakusumah Jayanegara namanya dijadikan satu menjadi Suryajanegara, Jamaludin Bukhori diganti menjadi Bagus Jabin, Raden Atasangin diganti menjadi nama panggilan atau singkatan pada saat nyantri dulu yaitu Rangin artinya Raden Atasangin, kemudian dilengkapi dengan Bagus Rangin, dan ada juga yang memanggil Raden Serangin, itu sebenarnya sama sebagai nama julukan atau wadanan (Bahasa Cirebon), dan kemudian untuk Sya’roni sendiri dirubah menjadi Serit atau Bagus Serit, karena Sya’roni itu artinya dua rambut, sehingga dulu dijuluki pada saat nyantrinya dulu dengan nama Serit (Sisir lembut untuk mencari kutu/Tuma). Sementara Aryasukma Diningrat dirubah menjadi Arsitem. Syarif Abdur Rahman diganti menjadi Bagus Sidong.

Landasan setrategi mereka dalam perjuangannya disusun dalam sebuah buku yang diberi Judul “Mujarobat” (kepanjangan dari “Mujahidin poro Ahlul bait/ahli Keraton”) dan agar buku itu tidak diketahui orang lain maka penulisnya ditulis dengan nama “Arsiqum”.  Di dalam kitab itu banyak berisi sandi-sandi yang hanya dimengerti kalangan sendiri.  

Markas Besar pertama kali untuk menyusun setrategi perang melawan Belanda dan Pihak Keraton itu berada di Desa Tengahtani tempat tinggalnya kedua Pangeran tersebut, sekaligus dikukuhkan menjadi Keraton perjuangan (sampai saat ini nama itu masih melekat dimasyarakat, dan dijadikan sebuah nama blok yaitu blok Keraton, adanya dikomplek masjid Tengahtani).

Untuk lebih memudahkan dalam berkomunikasi dengan kedua Pangeran itu, akhirnya sepakat nama Suryajanegara itu untuk Pangeran Suryanegara, dan untuk Pangeran Jayanegaranya sendiri lebih tepat diberi nama Rancang, sesuai dengan keahliannya yaitu merancang, sehingga sampai sekarang nama itu dikenal oleh masyarakatnya yaitu Buyut Rancang.

Kehidupan mereka sehari-harinya adalah sebagai tokoh masyarakat yang disegani, punya santri, punya pengajian, dan dakwah kedaerah-daerah. Seperti Jamaludin Bukhori atau Bagus Jabin, dia punya santri jumlahnya ribuan. Raden Atasangin atau Rangin punya santrinya juga ribuan, Sya’roni atau Serit juga mempunyai ribuan santri, mbah Muqoyyim sama, begitu juga ke dua Pangeran, masing-masing punya santri yang jumlahnya ribuan, sementara Raja Kanoman punya pengaruh sangat besar. Dan hal ini dapat dibuktikan, melalui kerusuhan yang bersifat kecil-kecilan di daerah-daerah, seperti di Kerawang atau daerah Pantura, Majalengka, Bandung, Sumedang, Cimanuk dan beberapa daerah Cirebon.

Meski satu persatu pemimpin pemberontakan itu tertangkap, namun tidak menyurutkan perlawanan atau pemberontakan terhadap tindakan Pemerintah Kolonial Belanda, seperti yang di alami pewaris takhta Kesultanan Keraton Kanoman yang diangkat sebagai pemimpin tertinggi dalam pemberontakan karena menolak pajak yang diterapkan Belanda, yang dapat memicu pemberontakan di beberapa tempat. Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke benteng Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut haknya sebagai Sultan Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat Cirebon tidak juga reda, Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dalam upaya mengakhiri pemberontakan. Status kebangsawanan Pangeran Raja Kanoman pun dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman tetap dicabut. Sekembalinya ke Cirebon, pada 1808, Pangeran Raja Kanoman tinggal di kompleks Gua Sunyaragi dan bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau Sultan Carbon, walaupun tidak memiliki keraton. Sampai wafat nya pada 1814, Sultan Carbon tetap konsisten dengan sikapnya dengan menolak uang pensiun dari Belanda.

Begitu juga Bagus Rangin tokoh masyarakat dari Bantarjati Majalengka, yang menentang dan memimpin pemberontakan melawan Belanda pada Perang Cirebon tahun 1805-1812. Pada 1805 pertempuran pecah di daerah Pangumbahan, juga terjadi lagi di daerah Karesidenan Cirebon dan pantai utara Jawa. Pasukan Bagus Rangin yang berkekuatan ± 10.000 orang kalah dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda. Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Cimanuk dekat Karangsembung Cirebon. Nama Bagus Rangin saat ini diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Bandung dan Cirebon.

Oleh: Abi Kayis Al-Mahdawy (dari berbagai sumber)


Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar