FAKTA SEJARAH YANG NYARIS HILANG
Cirebon Lebih Dulu Merdeka Pada Tanggal 15 Agustus 1945 Percaya atau tidak, proklamasi Kemerdekaan Indonesia kali pertama dibacakan di Cirebon atau tepatnya dua hari sebelum pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945 yang hingga kini menjadi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Baik bukti fisik atau literaturnya saling memperkuat bahwa 15 Agustus 1945 masyarakat Cirebon sudah melakukan proklamasi Kemerdekaan RI.
Penelusuran literatur sejarah tersebut dilakukan Radar di Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (Bapusipda) yang berkantor di Komplek Stadion Bima. Dengan bantuan Kepala Bapusipda, Mochamad Hanafiah SH MH dan Arsiparis Senior Wawan Hermawan, beberapa buku yang sudah berumur puluhan tahun tersebut diteliti lembar demi lembar untuk mencari bukti tertulis mengenai proklamasi pertama yang dilaksanakan di Cirebon 15 Agustus 1945. Hasilnya, dua buah literatur saling memperkuat akan peristiwa penting yang nyaris tidak diketahui oleh khalayak umum tersebut.
Dalam Buku Peringatan 50 Tahun Kota Besar Cirebon yang dibuat oleh Panitia HUT Cirebon, tercatat proklamasi tersebut benar adanya dan secara langsung dituliskan dalam Bab Simpang Siur dalam Revolusi. Pada bab khusus tersebut, tercatat perjuangan untuk pelaksanaan proklamasi kemerdekaan bangsa tidak hanya terjadi di Jakarta. Pemuda-pemuda Cirebon pun ikut berjuang dan mengadakan persiapan memerdekakan Indonesia. Persiapan untuk menyambut proklamasi tersebut dipimpin oleh dokter Soedarsono (namanya diabadikan menjadi nama jalan) yang saat itu menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Kesambi (sekarang RSUD Gunung Jati). Beberapa tokoh lain seperti Sugra cs, Sastrosuwirjo dan Manadi cs ikut berjuang untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Meski tampak terjadi dua golongan, namun pelaksanaannya bersamaan. Kedua golongan tersebut mempunyai cukup kekuatan seperti dr Soedarsono yang notabene menginduk pada Koperasi Rakyat Indonesia, sedangkan Sastrosuwirjo pada Barisan Pelopor. Untuk hubungan jaringan Cirebon ke Jakarta dilakukan melalui Sutan Syahrir ataupun melalui Markas Menteng 31 yang dipimpin oleh Surkani dan Chaerul Saleh.
Aktivis pemuda Cirebon tersebut melakukan proklamasi kemerdekaan RI di Alun-alun Kejaksan setelah mendengar kabar Jepang menyerah kepada Sekutu 14 Agustus 1945. Karena tidak ingin terus dijajah, maka cepat-cepat dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 15 Agustus 1945 atau lebih cepat dua hari dari Proklamasi RI di Jakarta. Namun proklamasi yang dilaksanakan di Cirebon tidak diakui secara luas oleh masyarakat, hanya sebagian masyarakat mengakui adanya proklamasi tersebut. Sebagian lagi justru bersikap ragu, sehingga enggan mengibarkan bendera merah putih. Bahkan, yang lebih ekstrim ada juga yang meminta agar proklamasi dicabut kembali. Literatur lainnya, juga menyebutkan hal serupa.
Dalam sebuah makalah yang dibuat oleh Panitia Peneliti Monumen Perjuangan Kota Cirebon yang diketuai Sudibyo Pusponegoro pada Desember 1976, menyebutkan terjadinya Proklamasi 15 Agustus 1945 di Cirebon. Dalam literatur tersebut juga dituliskan kekalahan Jepang dari sekutu menjadi motivasi kuat untuk dilaksanakannya proklamasi sesegera mungkin. Angkatan muda tersebut sudah menyusun kekuatan sejak setahun sebelumnya ditandai dengan dilaksanakannya rapat umum di Gedung Rex di kawasan Cangkol. Dalam rapat tersebut hadir sebagai pembicara adalah Dr Mohamad Toha yang menyerukan: ”Merdeka Sekarang Juga.”
Dalam perjuangan sebelum proklamasi tersebut angkatan muda terus menerus menjalin hubungan dengan Jakarta, di antaranya adalah dr Soedarsono dan Suroto yang menjadi penghubung informasi. Kemudian 13 Agustus 1945 Daini Dancho Zainal Asikin yang dirawat di Rumah Sakit Kesambi kamar nomor 9 mengadakan pertemuan dengan sekitar 20 orang untuk memutuskan bahwa pada 14 Agustus 1945 pukul 22.00 akan melaksanakan serangan besar terhadap Jepang, tetapi komando terakhir tidak sampai karena Jakarta tidak memberikan lampu hijau.
Menjelang pecahnya proklamasi atau setelah adanya berita positif kekalahan Jepang, maka secara spontan pemuda dan rakyat Cirebon melakukan penyerbuan ke kantor- kantor pemerintahan Jepang untuk merebut dan menyerahkan kekuasan Jepang kepada RI dengan aparat pemerintahan Jepang saat itu menandatangani penyerahan tidak bersyarat kepada Indonesia. Namun berita proklamasi di Jakarta pada 17 Agustus 1945 baru diterima masyarakat Cirebon pada 18 Agustus 1945 pukul 16.00. Sesaat setelah diterimanya informasi tersebut diadakan rapat umum di Alun-alun Kejaksan dan diteruskan dengan pawai keliling kota dan malam harinya langsung dibentuk Karisedenan Cirebon yang bertempat di Perguruan Tinggi Taman Siswa yang dimulai sejak pukul 20.00 dan baru berakhir pukul 05.00 pagi esok harinya.
Adalah Mondy Suherman (29), seorang warga Cirebon aktivis Badan Pekerja Pengaktifan Kembali Partai Sosialis Indonesia menerangkan bila pada 15 Agustus 1945, sekelompok massa yang merupakan bagian dari gerakan bawah tanah pimpinan Syahrir telah menyatakan proklamasi kemerdekaan RI di Alun-alun Kejaksan. Informasi sejarah yang tidak terpublikasi massal tersebut, jelas Mondy, didapatnya dari para kader sang kakek, (alm) Sukanda yang dulu aktif dalam Partai Sosialis Indonesia. “Saat teks proklamasi dibacakan oleh dokter Soedarsono di sekitar Alun-alun Kejaksan, kakek saya hadir di sana bersama ratusan orang lainnya yang sebagian besar anggota Partai Nasional Indonesia Pendidikan. Soedarsono sendiri adalah kepala rumah sakit daerah Cirebon waktu itu, ayah mantan Menhan Juwono Soedarsono,” katanya kepada Radar, Selasa (10/3), saat mengunjungi Graha Pena. Setelah lewat 1945, lanjut Mondy, Residen Karesidenan Cirebon saat itu yang dijabat oleh Hamdani, salahsatu kader Syahrir, berinisiatif membangun tugu peringatan di tengah jalan dekat Alun-alun Kejaksan. Mondy mengungkapkan tak banyak warga Cirebon tahu di tugu tersebut Soedarsono membacakan teks proklamasi. “Hanya para sesepuh generasi era 1945 yang mengetahui simbol tugu tersebut sebagai tugu peringatan Proklamasi 15 Agustus. Saya pun mendapat informasi terpercaya dari kader kakek saya, yang beberapa di antaranya secara lintas generasi masih hidup,” ujarnya.
Mengenai dokumen teks proklamasi Cirebon, Mondy menyatakan belum pernah melihat dan menurut informasi memang sudah tidak ada. “Kakek saya meninggal pada usia sekitar 80-an tahun 1988, waktu itu saya masih duduk di bangku SD. Seingat saya kakek tak pernah menyebutkan keberadaan teks tersebut, dan ternyata hingga sekarang keberadaannya memang misterius,” tutur pekerja swasta itu. Mondy menerangkan menurut referensi yang dibaca dan dikenalnya, proklamasi Cirebon lahir sebab kebimbangan Soekarno dan Hatta yang tak sesegera mungkin mengumumkan kemerdekaan RI walau telah mendengar lewat siaran radio BBC, bila Jepang sudah menyerah ke sekutu pada 14 Agustus 1945. Akhirnya, lanjut Mondy, kelompok muda pimpinan Sjahrir beranggapan Soekarno dan Hatta tidak revolusioner, dan memutuskan menculik keduanya ke Rengasdengklok untuk “dipaksa” secepatnya mengumumkan proklamasi. “Saat Soekarno-Hatta di Rengasdengklok itu, sepertinya kelompok bawah tanah pimpinan Syahrir yang juga memiliki basis massa di Cirebon tak mau menyiakan kesempatan dan segera mengumumkan proklamasi. Ternyata sejarah mencatat, Soekarno dan Hatta baru mengumandangkan proklamasi dua hari kemudian di Jakarta,” katanya.
Sementara itu, sesepuh masyarakat Cirebon yang juga Angkatan 45, DR H Koesnan Setiamihardja, membenarkan bila proklamasi sebelum 17 Agustus 1945 pernah berlangsung di Cirebon. Hanya saja, Koesnan enggan memberikan keterangan sebab khawatir menimbulkan polemik. “Saya pegang proklamasi yang terpublikasi secara nasional saja, demi kepentingan nasional pula,” tegasnya.
Tugu Kemerdekaan Waled Tidak banyak orang yang tahu jika keberadaan tugu kemerdekaan di Mapolsek Waled, Kabupaten Cirebon itu, ikut andil dalam goresan tinta sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonial Belanda. Adalah Ahmad Saleh (80), warga Dusun I Desa Sukadana, Kecamatan Pabuaran, menjadi bagian dari saksi sejarah perjuangan rakyat Cirebon dalam menumpas penjajah Belanda.
Dikisahkan, sebelum Belanda merambah seluruh pelosok tanah air, sekitar tahun 1942 tentara Jepang ikut menjajah kawasan timur Indonesia termasuk di Cirebon. “Tapi kemudian sekitar tahun 1946, Belanda datang ke Cirebon. Nah di tempat tugu inilah (yang saat itu berupa lapangan terbuka seperti sawah) kami membuat pusat pertahanan sekaligus perlawanan melawan penjajah. Kami dibantu sekitar dua batalyon dari pejuang asal Kabupaten Indramayu,” kenang mantan komandan regu pasukan Hizbullah itu.
Serangan tentara Belanda kian merajalela. Meriam-meriam yang ketika itu ditempatkan di kawasan Ciledug secara membabi buat dilesakkan ke sejumlah penjuru dengan jarak sasaran hingga 20 km. “Dan sekitar tahun 1949, Belanda akhirnya menyerah,” imbuh pria berperawakan jangkung itu.
Keberhasilan pejuang lokal dalam menumpas penjajah itu tidak lepas dari peran sejumlah pejuang wanita saat itu. Sebut saja Siti Salamah (80) yang sekarang menjadi istri dari Ahmad Saleh. “Waktu itu istri saya bertugas sebagai kurir untuk mengirimkan surat-surat komando dari pasukan di daerah yang satu ke pasukan di daerah lain,” ungkapnya. Hingga kini, Saleh mengaku masih sering teringat saat-saat tragis yang menimpa pejuang Indonesia. Misalnya ketika dia membantu perlawanan pejuang di Majalengka. “Waktu itu kami sedang salat Jumat di lapangan terbuka. Tiba-tiba datang tentara Belanda yang berjumlah sekitar 4 batalyon dan langsung memberondong kami dari atas masjid. Saya berhasil lolos dari maut, tapi puluhan teman saya yang lain meninggal,” ujarnya dengan mata berkaca- kaca. Tahun 1950, Saleh diangkat sebagai prajurit ABRI (sekarang TNI) untuk kemudian diikutsertakan dalam pelatihan dan pendidikan formal kemiliteran di Ambarawa. Saleh juga pernah dikirim ke Ambon untuk menjalankan misi pengamanan atas kelompok separatis RMS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar