Pasang BENNER dan dapatkan dolar tiap kunjungan. Mau...? klik DI SINI

Referral Banners

Senin, 06 Juni 2022

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua

 

Kisah Ki Bagus Rangin

Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”

Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir

 

Bagian Kedua

 

Pemberontakan Bagus Rangin

 

Syahdan, setelah beberapa tahun rakyat Cirebon dan sekitarnya fakum dari perlawanan sejak penangkapan Pangeran Raja Kanoman, maka pada tahun 1802 lahir kembali perlawanan yang jauh lebih besar dari perlawanan yang pernah terjadi di Cirebon sebelumnya. Perlawanan kaum santri yang cukup melelahkan dan merugikan pihak Belanda dan para anteknya ini dibawah pimpinan “Ki Bagus Rangin”. Perang besar ini dikenal dengan “Perang Kedongdong” / “Perang Santri”, dan  daerah “Jatitujuh” adalah pusat pergerakannya dalam penyusunan strategi.

Bagus Rangin adalah tokoh fenomenal yang sangat terkenal karena pada tahun 1802-1818 memimpin pemberontakan melawan Belanda dan para penguasa lokal di Cirebon yang sewenang-wenang terhadap rakyat. Beliau adalah Ulama Pejuang kelahiran Cirebon yang diperkirakan lahir tahun 1761, dan anak kedua dari “Buyut Sentayem” (Buyut Tayom). Kakaknya bernama “Buyut Bangin”, sedangkan kedua adiknya adalah “Buyut Salimar” dan “Bagus Serit”.

Beliau berguru pada banyak ulama selain ayahnya, seperti “Rama Banten”, dan “Ki Buyut Muji”. Selain mendalami ilmu agama, Ki Bagus Rangin juga mendalami Thoriqoh yang menumbuhkan jiwa jihadnya. Bersama Bagus Serit (adiknya) beliau juga berguru pada “Ki Arsitem” di Plered, dan beliau adalah murid yang paling menonjol dari yang lainya.

Ki Bagus Rangin adalah tokoh dengan keberanian tinggi untuk mendeklarasikan peperangan melawan Belanda. Pendukungnya meliputi seluruh rakyat Cirebon, Majalengka, dan Kuningan. Ada sekitar 40.000 orang yang memegang senjata, dan mereka telah melakukan perlawanan yang tiada hentinya. Ketika mengalami kekalahan, mereka berhamburan ke daerah-daerah lain, lalu menghimpun diri kembali dalam satu tempat yang telah ditentukan dan menyamar sebagai rakyat. Perlawanan diawali kembali dengan mengambil sawah-sawah yang mereka tinggalkan dan dirampas oleh Belanda yang dikelola Cina.

Ki Bagus Rangin sering melakukan pengajian dan do’a bersama-sama dengan rakyat Cirebon dan sekitarnya. Selain menanamkan nilai-nilai keimanan di hati setiap orang yang hadir, beliau juga memompa semangat “Jihad Fi Sabilillah” dalam jiwa mereka.

Bagus Rangin: “Para sedulur, Gusti Allah telah menjadikan dunia, sebagai tempat kehidupan umat. Tapi oleh Sultan malah dijual kepada Cina dan Kompeni, yang tidak pernah merasa kenyang. Ini suatu bentuk kesewenang-wenangan dan perbuatan yang melampai batas. Kedzoliman adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh agama manapun. Melawannya adalah Jihad Fi Sabilillah, dan siapapun yang gugur dalam bertempur menumpas kesewenang-wenangan, akan terbilang mati Syahid...!”

“Alloohu Akbar...!” terdengar pekik Takbir dari semua yang hadir.

“Tidak ada alasan bagi mereka yang sehat jasmani dan ruhaninya, untuk menghindar dari perjuangan yang nyata ada di depan mata...!” lanjut Ki Bagus Rangin berapi-api.

“Alloohu Akbar...!” kembali terdengar pekikan Takbir.

“Tanamkan niyat yang suci dalam hati, agar meraih Ridlo Ilaahi...! Dan, kalau Allah merestui, semoga akan segera berdiri suatu negri yang terhindar dari segala bentuk kedzoliman dan ketidakadilan. Semoga segera tercipta suasana adil dan makmur dalam sebuah negara yang Insya Allah bernama “Panca Tengah”...!”

“Alloohu Akbar...! Alloohu Akbar...!” kembali terdengar pekik Takbir berulang kali mengakhiri salah satu ceramah Ki Bagus Rangin.

Sebelum mengadakan peperangan, biasanya Bagus Rangin menyepi di tempat-tempat tertentu untuk memohon petunjuk dari Allah. Yang terakhir dilakukannya di “Pasir Luhur” (daerah Banyumas), perbatasan antara Tanah Sunda dan Jawa. Nyepi di daerah ini dilakukan sampai dua kali, dan yang kedua sekaligus yang terakhir dilakukan pada tahun 1811 selama satu bulan.

Setiap selesai sholat Jum’at, Bagus Rangin melakukan pengkaderan calon pejuang disertai sumpah setia terhadap perjuangan. Pengambilan sumpah dilakukan di sebuah balai-balai besar yang dikenal dengan nama “Bale Gede Wijaya” (kini berada di belakang Balai Desa Kedongdong). Para santri yang ditempa menjadi pejuang sejati berpakaian putih-putih, simbol keikhlasan, rela berkorban jiwa raga demi agama dan bangsa.

Ki Bagus Rangin bukanlah seorang raja, hanya seorang rakyat biasa yang memiliki jiwa kesatria untuk melawan kekejaman dan kediktatoran penguasa, baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun penguasa lokal di wilayah Keresidenan Cirebon. Kisah perjuangan beliau nyaris tenggelam karena kita lebih mengenal perang Diponegoro (1825-1830). Padahal, 17 tahun sebelum meletusnya Perang Diponegoro, di Cirebon telah terjadi perang besar yang dikenal dengan Perang Kedongdong”, yang berlangsung pada tahun 1802-1818, dengan tokoh pejuang yang bernama Ki Bagus Rangin. Perang tersebut adalah pemberontakan besar pertama di Pulau Jawa dalam melawan penjajah Belanda, jauh sebelum Perang Diponegoro. Pemberontakan Bagus Rangin menjalar di seluruh wilayah Keresidenan Cirebon dan mendapat dukungan penuh segenap lapisan masyarakat. Banyak Kiyai bersama para santri yang mendukung bahkan tidak sedikit yang terjun langsung ke medan juang.

Selain Bagus Rangin sebagai pemimpin utama, ada pemimpin lain seperti: Bagus Wariem dan Bagus Ujar dari “Bayawak”, Bagus Sakti dan Bagus Kondur dari “Jatitujuh”, Rontui dari “Baruang Wetan”, Bagus Sidung dari “Sumber”, Bagus Arisem dari “Loyang”, Bagus Suara dari “Bantarjati”, Bagus Sanda dari Pamayahan”, Bagus Narim dari Lelea”, Bagus Jamani dari “Depok”, Demang Penangan dari “Kandanghaur”, Demang Wargagupita dari “Kuningan”, Wargamanggala dan Harmanis dari “Cikad”, Wirasraya dari “Mamis”, Jurangprawira dari “Linggajati”, Jayasasmita dari “Ciminding”, Jangbaya dari “Luragung”, Anggasraya dari “Timbang”, Demang Jayaprawata dari “Nagarawangi”, Demang Angon Klangon dari Weru”, Ingabei Martamanggala dari “Pagebangan” dan Demang Jayapratala dari “Sukasari”.

Perjuangan kelompok Bagus Rangin juga mendapatkan dukungan moril dan materil dari masyarakat desa-desa seperti Benuang Kulon, Malandang, Conggeng, Cililin, Depok, Selaawi dan Sukasari, bahkan kepala-kepala desa dari desa-desa seperti Batununggal, Tegal, Bentang, Gerudu, Cinaka, Tanggulun, Tambal, dan Ayer.

Pemberontakan ini dikenal dengan Perang Kedongdong”, karena perang terbesarnya terjadi di desa “Kedongdong” (Susukan, Cirebon). Juga dikenal dengan nama “Perang Santri, karena kebanyakan yang melakukan pemberontakan adalah kaum santri Cirebon.

Saat terjadi perang di wilayah “Kedongdong”, masyarakat pribumi dipimpin oleh “Ki Gede Kedongdong” yang didampingi oleh para tokoh dan jawara dari blok “Wiyong” (sebelum menjadi sebuah desa) bagian selatan, seperti “KH. Salimuddin, Ki Ngabei, Ki Serang, Ki Gede Lemah Abang, dan Ki Gede Wanabadra.

Terjadinya perang Kedongdong dimulai dengan kedatangan serdadu Belanda dari arah tenggara. Dari wilayah ini berkecamuk perang antara serdadu Belanda dengan pasukan pribumi hingga mayat “pating telele” (Jawa: bergelimpangan) hingga wilayah itu kini disebut dukuh “Lele”. Berputar-putar pertempuran terus “Wunyeng” (Jawa: berkecamuk) dan kini tempat itu disebut “Unyengan”. Pasukan pribumi juga dibantu oleh pasukan wanita yang berdandan kain dan slendang (Nyawet, Jawa) di petegalan yang sekarang disebut “Tegal Cawet”. Pasukan pribumi memiliki tempat persembunyian istimewa di hutan gelap nan sunyi dan angker di bawah lindungan “Ki Wekar” yang persembunyian itu disebut “bunian” yang sekarang lebih dikenal dengan “Ki Buyut Bunian”.

Konon, Ki Bagus Rangin dan adiknya sempat terdesak mundur. Saat sampai di sebuah sumur yang sekarang dikenal dengan “Sumur Pendem” (ada di depan Balai Desa Kedongdong), mereka berdua melepas baju, sarung, dan kopiahnya lalu terjun masuk ke dalam sumur tersebut. Tak lama kemudian, Belanda yang melihat ada pakaian yag tergeletak disisi sumur, segera mengarahkan senapan ke dalam sumur dan memuntahkan puluhan peluru penuh nafsu. Padahal, saat itu dua orang buruan mereka sudah berada di dalam masjid yang terletak di sebelah barat sumur (seberang jalan balai desa Kedongdong).

Akhir perang di Kedongdong dimenangkan oleh pasukan pribumi. Setelah wilayah Kedongdong aman dan masyarakat pun berkembang, para tokoh pemerintah Kedongdong menyadari bahwa kemenangan perang Kedongdong adalah atas jasa-jasa para tokoh dari Ki Gede-Ki Gede “Wiyong”. Maka untuk menghargai jasa-jasa itu akhirnya wilayah Wiyong (Kedongdong bagian selatan) dipersilahkan mandiri memiliki kepemerintahan sendiri dengan kuwu pertamanya adalah seorang ulama terkemuka yaitu “KH. Salimuddin”. Wilayah awalnya dibagi menjadi lima Kuanco (semacam dukuh / blok): Kuanco Wunut, Kuanco Wiyong Lor, Kuanco Serang, Kuanco Wanabadra dan Kuanco Lemah Abang. Masing-masing Kuanco dipimpin oleh Ki Gedenya masing-masing.

 

Walloohu A’lam Bish-Showaab

Semoga bermanfaat

 

Bersambung ke bagian ketiga “Perang Kedongdong


Baca Juga Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar