Kisah Ki Bagus Rangin
Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”
Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir
Bagian Kedua
Pemberontakan Bagus
Rangin
Syahdan, setelah beberapa tahun rakyat Cirebon
dan sekitarnya fakum dari perlawanan sejak penangkapan Pangeran Raja Kanoman,
maka pada tahun 1802 lahir kembali perlawanan yang jauh lebih besar dari perlawanan yang
pernah terjadi
di Cirebon
sebelumnya. Perlawanan kaum santri yang cukup melelahkan
dan merugikan pihak Belanda dan para anteknya ini dibawah pimpinan “Ki Bagus
Rangin”. Perang besar ini dikenal dengan “Perang Kedongdong” / “Perang Santri”,
dan daerah “Jatitujuh” adalah pusat
pergerakannya dalam penyusunan strategi.
Bagus Rangin adalah tokoh fenomenal yang
sangat terkenal karena pada tahun 1802-1818 memimpin pemberontakan melawan Belanda dan para penguasa lokal di Cirebon yang
sewenang-wenang terhadap rakyat. Beliau adalah Ulama Pejuang kelahiran
Cirebon yang diperkirakan lahir tahun 1761, dan anak kedua dari “Buyut
Sentayem” (Buyut Tayom). Kakaknya bernama “Buyut Bangin”, sedangkan kedua
adiknya adalah “Buyut Salimar” dan “Bagus Serit”.
Beliau berguru pada banyak ulama selain
ayahnya, seperti “Rama Banten”, dan “Ki Buyut Muji”. Selain mendalami ilmu agama, Ki Bagus
Rangin juga mendalami Thoriqoh yang menumbuhkan jiwa jihadnya. Bersama Bagus Serit (adiknya) beliau juga berguru pada “Ki Arsitem” di Plered, dan beliau adalah murid yang paling menonjol
dari yang lainya.
Ki Bagus Rangin adalah
tokoh dengan keberanian tinggi untuk mendeklarasikan peperangan melawan Belanda. Pendukungnya meliputi seluruh rakyat
Cirebon, Majalengka, dan Kuningan. Ada sekitar 40.000 orang yang memegang
senjata, dan mereka telah melakukan perlawanan yang tiada hentinya. Ketika
mengalami kekalahan, mereka berhamburan ke daerah-daerah lain, lalu menghimpun
diri kembali dalam satu tempat yang telah ditentukan dan menyamar sebagai rakyat. Perlawanan diawali kembali dengan
mengambil sawah-sawah yang mereka tinggalkan dan dirampas oleh Belanda yang
dikelola Cina.
Ki Bagus Rangin sering
melakukan pengajian dan do’a bersama-sama dengan rakyat Cirebon dan sekitarnya.
Selain menanamkan nilai-nilai keimanan di hati setiap orang yang hadir, beliau
juga memompa semangat “Jihad Fi Sabilillah” dalam jiwa mereka.
Bagus Rangin: “Para
sedulur, Gusti Allah telah menjadikan dunia, sebagai tempat kehidupan umat.
Tapi oleh Sultan malah dijual kepada Cina dan Kompeni, yang tidak pernah merasa
kenyang. Ini suatu bentuk kesewenang-wenangan dan perbuatan yang melampai batas. Kedzoliman adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh agama manapun. Melawannya adalah Jihad Fi Sabilillah, dan siapapun yang
gugur dalam bertempur menumpas kesewenang-wenangan, akan terbilang mati Syahid...!”
“Alloohu Akbar...!”
terdengar pekik Takbir dari semua yang hadir.
“Tidak ada alasan bagi
mereka yang sehat jasmani dan ruhaninya, untuk menghindar dari perjuangan yang
nyata ada di depan mata...!” lanjut Ki Bagus Rangin berapi-api.
“Alloohu Akbar...!”
kembali terdengar pekikan Takbir.
“Tanamkan niyat yang suci
dalam hati, agar meraih Ridlo Ilaahi...! Dan, kalau Allah merestui, semoga akan
segera berdiri suatu negri yang terhindar dari segala bentuk kedzoliman dan
ketidakadilan. Semoga segera tercipta suasana adil dan makmur dalam sebuah
negara yang Insya Allah bernama “Panca Tengah”...!”
“Alloohu Akbar...! Alloohu
Akbar...!” kembali terdengar pekik Takbir berulang kali mengakhiri salah satu ceramah
Ki Bagus Rangin.
Sebelum mengadakan
peperangan, biasanya Bagus Rangin menyepi di tempat-tempat tertentu untuk
memohon petunjuk dari Allah. Yang terakhir dilakukannya di “Pasir Luhur”
(daerah Banyumas), perbatasan antara Tanah Sunda dan Jawa. Nyepi di daerah ini
dilakukan sampai dua kali, dan yang kedua sekaligus yang terakhir dilakukan
pada tahun 1811 selama satu bulan.
Setiap selesai sholat
Jum’at, Bagus Rangin melakukan pengkaderan calon pejuang disertai sumpah setia
terhadap perjuangan. Pengambilan sumpah dilakukan di sebuah balai-balai besar yang dikenal dengan nama “Bale
Gede Wijaya” (kini berada di belakang
Balai Desa Kedongdong). Para santri yang ditempa menjadi pejuang sejati
berpakaian putih-putih, simbol keikhlasan, rela berkorban jiwa raga demi agama
dan bangsa.
Ki Bagus Rangin bukanlah
seorang raja, hanya seorang rakyat biasa yang memiliki jiwa kesatria untuk melawan kekejaman dan kediktatoran penguasa,
baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun penguasa lokal di wilayah Keresidenan Cirebon. Kisah perjuangan beliau nyaris tenggelam karena kita lebih
mengenal perang Diponegoro (1825-1830). Padahal, 17 tahun sebelum
meletusnya Perang Diponegoro, di Cirebon telah terjadi perang besar yang
dikenal dengan “Perang
Kedongdong”, yang berlangsung
pada tahun 1802-1818, dengan tokoh pejuang yang bernama Ki Bagus Rangin. Perang tersebut adalah pemberontakan besar pertama di Pulau Jawa dalam melawan penjajah
Belanda, jauh sebelum Perang Diponegoro. Pemberontakan Bagus
Rangin menjalar di seluruh wilayah Keresidenan Cirebon dan mendapat dukungan
penuh segenap lapisan masyarakat. Banyak Kiyai bersama para santri yang mendukung bahkan
tidak sedikit yang terjun langsung ke medan juang.
Selain Bagus Rangin
sebagai pemimpin utama, ada pemimpin lain seperti: Bagus Wariem dan Bagus Ujar dari “Bayawak”, Bagus Sakti dan Bagus Kondur dari “Jatitujuh”, Rontui dari “Baruang Wetan”, Bagus Sidung dari “Sumber”, Bagus Arisem dari “Loyang”, Bagus Suara dari “Bantarjati”, Bagus Sanda dari “Pamayahan”, Bagus Narim dari “Lelea”, Bagus Jamani dari “Depok”, Demang Penangan dari “Kandanghaur”, Demang Wargagupita dari “Kuningan”, Wargamanggala dan Harmanis dari “Cikad”, Wirasraya
dari “Mamis”, Jurangprawira dari “Linggajati”, Jayasasmita dari “Ciminding”, Jangbaya dari “Luragung”, Anggasraya dari “Timbang”, Demang Jayaprawata dari “Nagarawangi”, Demang Angon Klangon dari “Weru”, Ingabei Martamanggala dari “Pagebangan” dan Demang
Jayapratala dari “Sukasari”.
Perjuangan kelompok Bagus
Rangin juga mendapatkan dukungan moril dan materil dari masyarakat desa-desa
seperti Benuang Kulon, Malandang, Conggeng, Cililin, Depok, Selaawi dan Sukasari,
bahkan kepala-kepala desa dari desa-desa seperti Batununggal, Tegal, Bentang,
Gerudu, Cinaka, Tanggulun, Tambal, dan Ayer.
Pemberontakan ini dikenal dengan “Perang Kedongdong”,
karena perang terbesarnya terjadi di
desa “Kedongdong” (Susukan, Cirebon). Juga dikenal dengan nama “Perang Santri”, karena kebanyakan yang melakukan pemberontakan adalah kaum
santri Cirebon.
Saat terjadi perang di
wilayah “Kedongdong”, masyarakat pribumi dipimpin oleh “Ki Gede Kedongdong”
yang didampingi oleh para tokoh dan jawara dari blok “Wiyong” (sebelum menjadi
sebuah desa) bagian selatan, seperti “KH. Salimuddin”, “Ki
Ngabei”, “Ki Serang”, “Ki Gede
Lemah Abang”, dan “Ki Gede
Wanabadra”.
Terjadinya perang Kedongdong dimulai dengan kedatangan serdadu Belanda dari arah
tenggara. Dari wilayah ini berkecamuk perang antara serdadu Belanda dengan
pasukan pribumi hingga mayat “pating telele” (Jawa: bergelimpangan) hingga
wilayah itu kini disebut dukuh “Lele”. Berputar-putar pertempuran terus “Wunyeng”
(Jawa: berkecamuk) dan kini tempat itu disebut “Unyengan”. Pasukan pribumi juga
dibantu oleh pasukan wanita yang berdandan kain dan slendang (Nyawet, Jawa) di
petegalan yang sekarang disebut “Tegal Cawet”. Pasukan pribumi memiliki tempat
persembunyian istimewa di hutan gelap nan sunyi dan angker di bawah lindungan
“Ki Wekar” yang persembunyian itu disebut “bunian” yang sekarang lebih dikenal dengan
“Ki Buyut Bunian”.
Konon, Ki Bagus Rangin dan adiknya sempat terdesak mundur. Saat sampai di sebuah sumur yang sekarang dikenal dengan “Sumur Pendem” (ada di depan
Balai Desa Kedongdong), mereka berdua melepas baju, sarung, dan kopiahnya lalu
terjun masuk ke dalam sumur tersebut. Tak lama kemudian, Belanda yang melihat
ada pakaian yag tergeletak disisi sumur, segera mengarahkan senapan ke dalam
sumur dan memuntahkan puluhan peluru penuh nafsu. Padahal, saat itu dua orang
buruan mereka sudah berada di dalam masjid yang terletak di sebelah barat sumur
(seberang jalan balai desa Kedongdong).
Akhir perang di Kedongdong
dimenangkan oleh pasukan pribumi. Setelah wilayah Kedongdong aman dan
masyarakat pun berkembang, para tokoh pemerintah Kedongdong menyadari bahwa
kemenangan perang Kedongdong adalah atas jasa-jasa para tokoh dari Ki Gede-Ki
Gede “Wiyong”. Maka untuk menghargai jasa-jasa itu akhirnya wilayah Wiyong
(Kedongdong bagian selatan) dipersilahkan mandiri memiliki kepemerintahan sendiri
dengan kuwu pertamanya adalah seorang ulama terkemuka yaitu “KH. Salimuddin”. Wilayah
awalnya dibagi menjadi lima Kuanco (semacam dukuh / blok): Kuanco Wunut, Kuanco
Wiyong Lor, Kuanco Serang, Kuanco Wanabadra dan Kuanco Lemah Abang. Masing-masing
Kuanco dipimpin oleh Ki Gedenya masing-masing.
Walloohu A’lam
Bish-Showaab
Semoga bermanfaat
Bersambung ke bagian ketiga “Perang Kedongdong”
Baca Juga Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar