Pasang BENNER dan dapatkan dolar tiap kunjungan. Mau...? klik DI SINI

Referral Banners

Senin, 06 Juni 2022

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketiga

 

Kisah Ki Bagus Rangin

Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”

Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir

 

Bagian Ketiga

 

Perang Kedongdong (Perang Santri)

 

“Perang Kedongdong” adalah perang besar yang pernah terjadi pada masa perlawanan rakyat Cirebon terhadap kesewenang-wenangan Belanda, dan secara umum adalah perang antara para pejuang di seluruh wilayah Cirebon yang terjadi tahun 1802-1818. Perang tersebut dikenal dengan “Perang Kedongdong” karena perang terberat sekaligus terbesar terjadinya di desa Kedongdong. Disebut juga dengan Perang Santri”, sebab pemimpin perang tersebut adalah Bagus Rangin dan Bagus Serit, dari keluarga Pesantren.

Kalau Perang Diponegoro dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram, maka Perang Kedongdong adalah murni perlawanan rakyat Cirebon akibat ketidakpuasan monopoli dan paksa sewa pesawahan dan kebun, serta paksaan pajak yang tinggi, hingga memunculkan pemerasan oleh residen dan orang Cina.

Tahun 1802 - 1818 adalah rentang waktu dimana terjadi rangkaian perlawanan yang meletus pertama kali tahun 1802. Perlawanan tidak terjadi setiap tahun, namun ada 2 periode perlawanan besar yaitu tahun 1802-1812 dipimpin “Bagus Rangin”, dan periode 1816-1818 dipimpin oleh “Bagus Jabin” dan “Nairem”.

Syahdan, di Palimanan banyak tanah yang disewakan oleh Bupati pada orang-orang Cina, sementara masyarakat dihisap tenaganya dan dikenakan pajak yang tinggi. Masyarakat protes pada Bupati dan meminta keringanan pajak, namun jawaban yang didapat tidak memuaskan dan seolah-olah memihak kepada orang-orang Cina, bahkan kepala distrik seakan membiarkan keadaan ini. 

Masyarakat yang kecewa dengan tindakan Bupati lalu mengadakan gerakan perlawanan. Mereka dihimpun oleh kelompok Bagus Rangin, sebab pihak yang dianggap paling bertanggung jawab dalam masalah ini adalah Bupati dan asisten pejabat penghubung Belanda untuk wilayah Cirebon. Para pejuang yang dipimpin oleh Bagus Serit (adiknya Bagus Rangin) lalu menyerang pendopo Bupati dan membunuh Tumenggung Madenda” (Bupati), kemudian menyerang rumah kediaman asisten pejabat penghubung Belanda di Palimanan dan membunuhnya juga.

Setelah membunuh Bupati dan asisten pejabat penghubung Belanda di Palimanan, gerakan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Bagus Serit kemudian mulai mengepung dan menyerang rumah-rumah para bangsawan dan orang-orang Cina. Setelah peristiwa itu, mereka kembali ke tempat asalnya masing-masing dan sebagian yang lainnya bergabung dengan Bagus Rangin. Banyaknya rakyat yang bergabung dengan kelompok beliau membuat jumlah pasukannya bertambah antara 300 - 500 orang yang terlatih untuk berperang.

Peta persembunyian dalam Perang Kedongdong sekaligus markas perlawanannya adalah daerah Jatitujuh, Waringin, Baruang Kulon, Bantarjati, Pamayahan, Depok, Ciminding, Sumber, Gegunung, Watubelah, Nagarawangi, Pagebangan, Sukasari, dan Sindanghaji. Sementara Peta pergerakannya adalah Majalengka, sungai Cimanuk, Indramayu, Karawang, Subang, Plered, Palimanan (di pusat distrik Belanda), dan Susukan wilayah Kedongdong.

Perang Kedongdong menjadi perhatian serius Pemerintah Belanda, sebab mengancam eksistensinya di Cirebon. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Albertus Henricus Wiese mengirim surat untuk Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolas Engelhard”. Gubernur Jenderal dalam surat tersebut menyampaikan, akan segera dikeluarkannya surat perintah agar secepat mungkin mengirimkan pasukan dari Madura yang telah ditempatkan di ujung Timur Laut Jawa yang terdiri atas 1 kompi, di Surabaya 1 batalayon, dan 2 batalyon dibawah perintah Bupati Madura yang sudah disiagakan di Bangkalan.

Alhasil, perlawanan rakyat Cirebon dalam menolak pajak paksa yang diterapkan Belanda kian sengit. Belanda kewalahan menghadapinya dan mengalami kerugian yang sangat besar. Secara materiil, sedikitnya Belanda menderita kerugian 150.000 Gulden.

Untuk meredam perlawanan ini, Belanda sampai menjalin aliansi militer strategis dengan Portugis. Ribuan prajurit Belanda dan Portugis tambahan didatangkan dan diangkut menggunakan 6 kapal perang besar yang mendarat di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Kedatangan ribuan prajurit tambahan itu tidak membuat rakyat Cirebon gentar, justru semakin membuat para pejuang menggencarkan perlawanan.

Semangat rakyat Cirebon dan sekitarnya terus membara. Jiwa “Jihad Fi Sabilillah” terus ditanamkan oleh para tokoh agama di dalam hati kaum santri dan masyarakat biasa. Di wilayah timur, Mbah Muqoyyim dan Kiyai Ardisela terus mengobarkan semangat juang bersama para “Lasykar Ardisela”. Tanpa rasa takut sedikitpun mereka terus berjuang mempertahankan harga diri meski hidup selalu diburu serdadu. Banyak perlawanan bertebaran di hampir setiap wilayah Keresidenan Cirebon.

Meskipun Mbah Muqoyyim akhirnya mengungsi ke Pemalang, tapi semangat juang para santri hasil gemblengannya terus bergejolak dan bersatu padu bersama kaum santri lain untuk terus mengusir penjajah.

 

Berdirinya Kacirebonan

 

Syahdan, Tahun 1805, di tengah perjuangan rakyat Cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman, dilanjutkan oleh pejuang lainnya di antaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada sekitar tahun 1802, kondisi sosial masyarakat Cirebon saat itu sangat memprihatinkan. Sejak Pangeran Surantaka dinobatkan sebagai Sultan Anom V, maka banyak hal buruk yang terjadi. Di akhir abad ke 18 terjadi “Pagebluk” (wabah penyakit / “Tho’un”) sehingga banyak warga yang sakit kemudian mati. Kelaparan melanda akibat gagal panen yang terjadi karena kosongnya bulir-bulir padi yang ditanam. 

Permasalahan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan ke Ambon mencapai puncaknya pada tahun 1805. Perwakilan masyarakat Cirebon sekitar 1.000 orang berdatangan guna melakukan “long march” (berjalan kaki) untuk menemui Gubernur Jenderal untuk menuntut hak Pangeran Raja Kanoman. Sebagai Putra Mahkota, Sang Pangeran berhak menjadi pengganti Sultan Anom IV “Muhammad Chaeruddin” yang telah wafat. Perwakilan masyarakat Cirebon mengatakan bahwa Pangeran Surantaka tidak berhak menjadi Sultan di kesultanan Kanoman, karena masih ada Putra Mahkota yang lebih berhak. Bahkan, mereka juga menghubung-hubungkan kejadian buruk di Cirebon, dari mulai Pagebluk hingga gagal panen, dengan naiknya Pangeran Surantaka sebagai Sultan Anom V.

“Simon Hendrik-Rose”, pejabat Belanda untuk wilayah Kesultanan Cirebon pada masa itu, kemudian mengajukan permohonan pada tanggal 26 Februari 1805 kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia, agar mengeluarkan peraturan kepada para bupati supaya tidak memberikan jalan pada rombongan masyarakat Cirebon yang akan menuju Batavia. Permohonan Simon Hendrik-Rose dikabulkan dengan dikeluarkannya surat keputusan (besluit) 15 Maret 1805 yang berisi perintah kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan masyarakat Cirebon. Berdasarkan besluit tersebut maka bupati Karawang diperintah agar mencegah rombongan tersebut ke Batavia.

Belanda kemudian mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing (sebelah timur kota Batavia) untuk mengangkut para rombongan Cirebon, dan pada tanggal 7 Mei 1805 rombongan tersebut kembali ke Cirebon.

Gubernur Jenderal “Albertus Henricus Wiese” yang secara resmi mulai menjabat pada 15 Juni 1805, di kemudian hari mengabulkan permintaan perwakilan masyarakat Cirebon dengan memulangkan Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon. Hal tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi lebih panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan yang lebih besar lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran yang sekarang sedang berlangsung sudah banyak korban dari pihak Belanda yang berjatuhan.

Pada Resolusi 25 Februari 1806, pejabat Belanda di Cirebon yaitu: “van Lawick” menjelaskan bahwa di daerah perbatasan Sumedang dan Cirebon, di daerah Jatitujuh dan sekitarnya ada pergerakan sekelompok orang yang berjumlah sekitar 1000 orang. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, Gubernur Jenderal segera memengirimkan beberapa pasukan. Gubernur Jenderal dengan persetujuan dewan penasehat pemerintah Hindia Belanda di Batavia segera menugaskan Nicolas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) sebagai pemimpin pasukan guna membereskan masalah Bagus Rangin. Pasukannya kemudian diperkuat oleh pasukan dari putera bupati Mangkudiningrat (bupati Bangkalan).

Dalam pertempuran tersebut, dua orang putera Patih Sumedang menjadi korban dan dua puluh lima orang pasukan Sumedang yang berhasil ditawan kemudian dihukum mati, sementara pasukan Bagus Rangin banyak yang berhasil meloloskan diri.

Karena mulai kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Cirebon, ditambah kondisi wabah yang juga mengena pada para pejabat Belanda,  akhirnya para petinggi Belanda mencoba mengusulkan perundingan dengan pihak keluarga Kesultanan dan wakil dari para pejuang. Belanda berjanji akan mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dan memohon agar Mbah Muqoyyim segera kembali dari pengungsiannya di Pemalang untuk mendo’akan keselamatan Cirebon dari wabah yang melanda. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat apabila Sang Pangeran dikembalikan, maka perlawananpun dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Sang Pangeranpun dikembalikan.

Tanggal 1 September 1806 Belanda membuat perjanjian dengan Pangeran Djoharuddin (Sultan Sepuh VII) dan Sultan Raja Imamuddin (Sultan Anom V) untuk mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna meredakan perjuangan yang terjadi. 

Namun karena di keraton Kanoman sudah bertahta Pangeran Raja Immamudin selaku Sultan Anom V, akhirnya atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran Raja Kanoman tahun 1808 diangkat menjadi Sultan bergelar “Sultan Carbon Amirul Mukminin Muhammad Khoiruddin II”, dan mendirikan Kesultanan sendiri dengan nama “Kacirebonan”.

Namun, walaupun Pangeran Raja Kanoman telah kembali dan resmi diangkat menjadi Sultan di Kesultanan Kacirebonan, tidak serta merta menyurutkan gerakan perjuangan yang sudah lama berjalan. Meski resmi menjadi seorang raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton, dan memilih hidup sederhana bersama istrinya, “Ratu Raja Resminingpuri”. Beliau memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi, di daerah “Sentul” (kini jl. By Pass Brigjen Dharsono). Pemerintah Belanda menjamin biaya hidupnya dalam bentuk gajih bulanan. Namun, sikapnya tetap tegas dengan cara menolak uang gajih dan apapun pemberian dari Belanda.

Wabah yang melanda Cirebon juga hilang saat Mbah Muqoyyim kembali ke Cirebon lalu bersama para santrinya berdo’a memohon pada Dzat Yang Maha Kuasa.

Tahun 1808 “Herman Willem Daendels” yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda tiba di Batavia.

Tahun 1809  Daendels menetapkan berbagai langkah dan tindakan dalam rangka pengendalian wilayah yang ada di Jawa bagian barat. Dua Regentschappen (wilayah) kemudian ditetapkan:

1.       Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen (wilayah Batavia dan Priangan-Jakarta) meliputi Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang.

2.       Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger Regentschappen (wilayah Kesultanan Cirebon dan Priangan-Cirebon) meliputi wilayah kesultanan Cirebon, Limbangan (sekarang bagian dari kabupaten Garut), Sukapura (sekarang bagian dari kabupaten Tasikmalaya) dan Galuh (sekarang kabupaten Ciamis dan kota Banjar).

Di Cirebon, Daendels memperoleh hak untuk mengangkat pegawai Kesultanan dan mendapat kekuasaan besar dalam urusan keuangan dan pemerintahan internal Kesultanan.

Sejak tahun 1809, semua Kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikan pegawai pemerintah Hindia Belanda. Kepala pemerintahan diganti oleh para bupati yang diangkat oleh Gubernur Jenderal, yang kemudian wilayah-wilayahnya diawasi oleh residen yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda.

Tanggal 2 Maret 1810, Sultan Carbon dipecat dari jabatannya oleh Belanda, karena dianggap selalu menentang pemerintah. Hal ini tentu saja membuat rakyat Cirebon marah, karena Sang Sultan adalah sosok pemimpin yang selalu berpihak kepada rakyat.

Tahun 1814 Sultan Carbon wafat. Saat itu “Pangeran Raja Madenda” (putra lelakinya) masih berusia 5 tahun, maka Kesultanan Kacirebonan diwakili oleh “Ratu Raja Resminingpuri” (istrinya). Saat itulah Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya.

 

Walloohu A’lam Bish-Showaab

Semoga bermanfaat

 

Bersambung ke bagian keempat “Pertempuran Jawura Dan Bantarjati


Baca Juga: 

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar