Kisah Ki Bagus Rangin
Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”
Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir
Bagian Ketiga
Perang Kedongdong (Perang Santri)
“Perang
Kedongdong” adalah perang besar yang pernah terjadi pada masa perlawanan rakyat
Cirebon terhadap kesewenang-wenangan Belanda, dan secara umum adalah perang
antara para pejuang di seluruh wilayah Cirebon yang terjadi tahun 1802-1818.
Perang tersebut dikenal dengan “Perang Kedongdong” karena perang terberat
sekaligus terbesar terjadinya di desa Kedongdong. Disebut juga dengan “Perang Santri”, sebab pemimpin perang tersebut adalah
Bagus Rangin dan Bagus Serit, dari keluarga Pesantren.
Kalau Perang Diponegoro
dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram, maka Perang Kedongdong adalah murni perlawanan rakyat Cirebon akibat ketidakpuasan monopoli dan paksa sewa pesawahan dan kebun, serta
paksaan pajak yang tinggi, hingga memunculkan pemerasan oleh residen dan orang
Cina.
Tahun 1802 - 1818 adalah
rentang waktu dimana terjadi rangkaian perlawanan yang meletus pertama kali
tahun 1802. Perlawanan tidak terjadi setiap tahun, namun ada 2 periode
perlawanan besar yaitu tahun 1802-1812 dipimpin “Bagus Rangin”, dan periode
1816-1818 dipimpin oleh “Bagus Jabin” dan “Nairem”.
Syahdan, di Palimanan
banyak tanah yang disewakan oleh Bupati pada orang-orang Cina, sementara
masyarakat dihisap tenaganya dan dikenakan pajak yang tinggi. Masyarakat protes pada Bupati dan meminta keringanan pajak,
namun jawaban yang didapat tidak memuaskan dan seolah-olah memihak kepada
orang-orang Cina, bahkan kepala distrik seakan membiarkan keadaan ini.
Masyarakat yang kecewa
dengan tindakan Bupati lalu mengadakan gerakan perlawanan. Mereka dihimpun oleh
kelompok Bagus Rangin, sebab pihak yang dianggap paling bertanggung jawab dalam masalah ini adalah Bupati dan asisten pejabat penghubung Belanda untuk wilayah Cirebon. Para pejuang yang dipimpin oleh “Bagus Serit” (adiknya Bagus
Rangin) lalu menyerang
pendopo Bupati
dan membunuh “Tumenggung
Madenda” (Bupati), kemudian menyerang rumah kediaman
asisten pejabat penghubung Belanda di Palimanan dan membunuhnya juga.
Setelah membunuh
Bupati dan asisten pejabat penghubung Belanda di
Palimanan, gerakan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Bagus Serit kemudian
mulai mengepung dan menyerang rumah-rumah para bangsawan dan orang-orang Cina. Setelah peristiwa itu, mereka
kembali ke tempat asalnya masing-masing dan
sebagian yang lainnya bergabung dengan Bagus Rangin. Banyaknya rakyat yang bergabung dengan kelompok beliau membuat jumlah pasukannya bertambah antara 300 - 500
orang yang terlatih untuk berperang.
Peta persembunyian dalam
Perang Kedongdong sekaligus markas perlawanannya adalah daerah Jatitujuh,
Waringin, Baruang Kulon, Bantarjati, Pamayahan, Depok, Ciminding, Sumber,
Gegunung, Watubelah, Nagarawangi, Pagebangan, Sukasari, dan Sindanghaji.
Sementara Peta pergerakannya adalah Majalengka, sungai Cimanuk, Indramayu,
Karawang, Subang, Plered, Palimanan (di pusat distrik Belanda), dan Susukan wilayah
Kedongdong.
Perang
Kedongdong menjadi perhatian serius Pemerintah Belanda, sebab
mengancam eksistensinya di Cirebon. Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, “Albertus Henricus Wiese” mengirim
surat untuk Gubernur Pantai Timur Laut Jawa “Nicolas Engelhard”. Gubernur Jenderal dalam surat tersebut menyampaikan, akan segera dikeluarkannya surat perintah agar secepat mungkin
mengirimkan pasukan dari Madura yang telah ditempatkan di ujung Timur Laut Jawa
yang terdiri atas 1 kompi, di Surabaya 1 batalayon, dan 2 batalyon dibawah
perintah Bupati Madura yang sudah disiagakan di Bangkalan.
Alhasil, perlawanan rakyat Cirebon dalam menolak pajak paksa yang diterapkan Belanda
kian sengit. Belanda kewalahan menghadapinya dan mengalami kerugian yang sangat
besar. Secara materiil, sedikitnya Belanda menderita kerugian 150.000 Gulden.
Untuk meredam perlawanan
ini, Belanda sampai menjalin aliansi militer strategis dengan Portugis. Ribuan
prajurit Belanda dan Portugis tambahan didatangkan dan diangkut menggunakan 6
kapal perang besar yang mendarat di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Kedatangan
ribuan prajurit tambahan itu tidak membuat rakyat Cirebon gentar, justru
semakin membuat para pejuang menggencarkan perlawanan.
Semangat rakyat Cirebon dan sekitarnya terus membara. Jiwa “Jihad Fi Sabilillah”
terus ditanamkan oleh para tokoh agama di dalam hati kaum santri dan masyarakat
biasa. Di wilayah timur, Mbah Muqoyyim dan Kiyai Ardisela terus mengobarkan
semangat juang bersama para “Lasykar Ardisela”. Tanpa rasa takut sedikitpun
mereka terus berjuang mempertahankan harga diri meski hidup selalu diburu
serdadu. Banyak perlawanan bertebaran di hampir setiap wilayah Keresidenan
Cirebon.
Meskipun Mbah Muqoyyim
akhirnya mengungsi ke Pemalang, tapi semangat juang para santri hasil
gemblengannya terus bergejolak dan bersatu padu bersama kaum santri lain untuk
terus mengusir penjajah.
Berdirinya Kacirebonan
Syahdan, Tahun 1805, di
tengah perjuangan rakyat Cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788
oleh Mirsa dan Pangeran Raja Kanoman, dilanjutkan oleh pejuang lainnya di
antaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada sekitar tahun
1802, kondisi sosial masyarakat Cirebon saat itu sangat memprihatinkan. Sejak
Pangeran Surantaka dinobatkan sebagai Sultan Anom V, maka banyak hal buruk yang
terjadi. Di akhir abad ke 18 terjadi “Pagebluk” (wabah penyakit / “Tho’un”)
sehingga banyak warga yang sakit kemudian mati. Kelaparan melanda akibat gagal
panen yang terjadi karena kosongnya bulir-bulir padi yang ditanam.
Permasalahan Pangeran Raja
Kanoman yang diasingkan ke Ambon mencapai puncaknya pada tahun 1805. Perwakilan
masyarakat Cirebon sekitar 1.000 orang berdatangan guna melakukan “long march” (berjalan kaki) untuk menemui Gubernur Jenderal untuk
menuntut hak Pangeran Raja Kanoman. Sebagai Putra Mahkota, Sang Pangeran berhak
menjadi pengganti Sultan Anom IV “Muhammad Chaeruddin” yang telah wafat.
Perwakilan masyarakat Cirebon mengatakan bahwa Pangeran Surantaka tidak berhak
menjadi Sultan di kesultanan Kanoman, karena masih ada Putra Mahkota yang lebih
berhak. Bahkan, mereka juga menghubung-hubungkan kejadian buruk di Cirebon, dari mulai Pagebluk hingga gagal panen, dengan
naiknya Pangeran Surantaka sebagai Sultan Anom V.
“Simon Hendrik-Rose”,
pejabat Belanda untuk wilayah Kesultanan Cirebon pada masa itu, kemudian mengajukan permohonan pada tanggal 26 Februari 1805
kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia, agar mengeluarkan peraturan kepada
para bupati supaya tidak memberikan jalan pada rombongan masyarakat Cirebon
yang akan menuju Batavia. Permohonan Simon Hendrik-Rose dikabulkan dengan
dikeluarkannya surat keputusan (besluit) 15 Maret 1805 yang berisi perintah
kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan masyarakat
Cirebon. Berdasarkan besluit tersebut maka bupati Karawang diperintah agar mencegah
rombongan tersebut ke Batavia.
Belanda kemudian
mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing (sebelah timur kota Batavia) untuk
mengangkut para rombongan Cirebon, dan pada tanggal 7 Mei 1805 rombongan
tersebut kembali ke Cirebon.
Gubernur Jenderal “Albertus Henricus Wiese” yang secara resmi mulai menjabat pada 15 Juni
1805, di kemudian hari mengabulkan permintaan perwakilan masyarakat
Cirebon dengan memulangkan Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon.
Hal tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi lebih
panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan yang lebih besar
lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran yang sekarang sedang berlangsung
sudah banyak korban dari pihak Belanda yang berjatuhan.
Pada Resolusi 25 Februari
1806, pejabat Belanda di Cirebon yaitu: “van Lawick” menjelaskan bahwa di
daerah perbatasan Sumedang dan Cirebon, di daerah Jatitujuh dan sekitarnya ada
pergerakan sekelompok orang yang berjumlah sekitar 1000 orang. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, Gubernur Jenderal segera memengirimkan beberapa pasukan. Gubernur Jenderal dengan persetujuan dewan penasehat pemerintah
Hindia Belanda di Batavia segera menugaskan “Nicolas Engelhard” (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) sebagai
pemimpin pasukan guna membereskan masalah Bagus Rangin. Pasukannya
kemudian diperkuat oleh pasukan dari putera bupati Mangkudiningrat (bupati Bangkalan).
Dalam
pertempuran tersebut, dua
orang putera Patih Sumedang menjadi korban dan dua puluh lima orang pasukan
Sumedang yang berhasil ditawan kemudian dihukum mati, sementara pasukan Bagus Rangin banyak yang
berhasil meloloskan diri.
Karena mulai kewalahan
menghadapi perlawanan rakyat Cirebon, ditambah kondisi wabah yang juga mengena
pada para pejabat Belanda, akhirnya para
petinggi Belanda mencoba mengusulkan perundingan dengan pihak keluarga
Kesultanan dan wakil dari para pejuang. Belanda berjanji akan mengembalikan
Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dan memohon agar Mbah Muqoyyim segera kembali
dari pengungsiannya di Pemalang untuk mendo’akan keselamatan Cirebon dari wabah
yang melanda. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat apabila
Sang Pangeran dikembalikan, maka perlawananpun dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Sang Pangeranpun dikembalikan.
Tanggal 1 September 1806 Belanda membuat perjanjian dengan Pangeran
Djoharuddin (Sultan Sepuh VII) dan Sultan Raja Imamuddin (Sultan Anom V) untuk
mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna meredakan perjuangan yang
terjadi.
Namun karena di keraton
Kanoman sudah bertahta Pangeran Raja Immamudin selaku Sultan Anom V, akhirnya
atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran Raja Kanoman tahun 1808 diangkat
menjadi Sultan bergelar “Sultan Carbon Amirul Mukminin Muhammad Khoiruddin II”,
dan mendirikan Kesultanan sendiri dengan nama “Kacirebonan”.
Namun, walaupun Pangeran Raja Kanoman telah kembali dan resmi diangkat menjadi Sultan
di Kesultanan Kacirebonan, tidak serta merta menyurutkan gerakan perjuangan yang sudah lama berjalan. Meski resmi menjadi seorang raja,
Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton, dan memilih hidup sederhana
bersama istrinya, “Ratu Raja Resminingpuri”. Beliau memilih tinggal di kompleks
Gua Sunyaragi, di daerah “Sentul” (kini jl. By Pass Brigjen Dharsono). Pemerintah
Belanda menjamin biaya hidupnya dalam
bentuk
gajih
bulanan. Namun, sikapnya tetap tegas dengan cara menolak
uang gajih dan apapun pemberian dari Belanda.
Wabah yang melanda Cirebon
juga hilang saat Mbah Muqoyyim kembali ke Cirebon lalu bersama para santrinya
berdo’a memohon pada Dzat Yang Maha Kuasa.
Tahun 1808 “Herman Willem Daendels” yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda tiba di Batavia.
Tahun
1809 Daendels menetapkan berbagai langkah dan tindakan dalam
rangka pengendalian wilayah yang ada di Jawa bagian barat. Dua Regentschappen (wilayah)
kemudian ditetapkan:
1.
Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen
(wilayah Batavia dan Priangan-Jakarta) meliputi
Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung dan Sumedang.
2.
Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger
Regentschappen (wilayah Kesultanan Cirebon dan Priangan-Cirebon) meliputi wilayah kesultanan Cirebon,
Limbangan (sekarang bagian dari kabupaten
Garut), Sukapura (sekarang bagian dari kabupaten Tasikmalaya) dan
Galuh (sekarang kabupaten Ciamis dan kota Banjar).
Di Cirebon, Daendels memperoleh hak untuk mengangkat pegawai Kesultanan dan
mendapat kekuasaan besar dalam urusan keuangan dan pemerintahan internal
Kesultanan.
Sejak tahun 1809, semua
Kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan politik karena
telah dijadikan pegawai pemerintah Hindia Belanda. Kepala pemerintahan diganti
oleh para bupati yang diangkat oleh Gubernur Jenderal, yang kemudian
wilayah-wilayahnya diawasi oleh residen yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda.
Tanggal 2 Maret 1810,
Sultan Carbon dipecat dari jabatannya oleh Belanda, karena dianggap selalu menentang
pemerintah. Hal ini tentu saja membuat rakyat Cirebon marah, karena Sang Sultan
adalah sosok pemimpin yang selalu berpihak kepada rakyat.
Tahun 1814 Sultan Carbon wafat. Saat itu “Pangeran Raja Madenda” (putra lelakinya)
masih berusia 5 tahun, maka Kesultanan Kacirebonan diwakili oleh “Ratu Raja Resminingpuri” (istrinya). Saat itulah Ratu Raja membangun Keraton
Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan
memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon
selalu ditampiknya.
Walloohu A’lam
Bish-Showaab
Semoga bermanfaat
Bersambung ke bagian keempat “Pertempuran Jawura Dan Bantarjati”
Baca Juga:
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar