Pasang BENNER dan dapatkan dolar tiap kunjungan. Mau...? klik DI SINI

Referral Banners

Senin, 06 Juni 2022

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama

 

Kisah Ki Bagus Rangin

Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”

Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir

 

Bagian Pertama

 

Perang Pangeran Raja Kanoman

 

Syahdan, “Pangeran raja Kanoman” (Pangeran Suryanegara, Putera Mahkota dari Sultan Anom IV) memulai perjuangan bersama “Mirsa” dan masyarakat lain pada tahun 1788. Beliau mendapatkan bantuan dari tokoh agama, meskipun akhirnya dapat dipatahkan. Perjuangan kembali berlanjut pada tahun 1793, hingga akhirnya Belanda merasa kewalahan kemudian merubah taktik.

Tahun 1796, Belanda mencoba melakukan negosiasi (perundingan) di rumah petinggi belanda yang terletak di “Krucuk” (sekarang menjadi “Gedung Negara”). Belanda diwakili oleh “Cheri Blum”, Kesultanan Kanoman diwakili oleh “Pangeran Suryanegara”, sementara Kesultanan Kasepuhan tidak mengirimkan perwakilan karena lebih cenderung melakukan perlawanan dengan senjata.

Awal perundingan berjalan lancar, namun akhirnya buntu ketika Belanda mengajukan beberapa proposal yang dianggap merugikan pihak Kesultanan baik Kanoman maupun Kasepuhan.

Beberapa isi dari proposal tersebut adalah:

1.       Belanda diperbolehkan menanam politik “Cultuurstelsel” (peraturan tanam paksa),

2.       Hasil panen harus dijual kepada Belanda dengan harga yang sudah ditentukan,

3.       Kesultanan Kanoman maupun Kesultanan Kasepuhan harus membayar ganti rugi perang.

Saat membaca isi dari proposal tersebut, Pangeran Raja Kanoman segera bangkit menatap tajam seraya mendengus berkata: “Licik...!” lalu merobek-robek proposal tersebut, yang mengakibatkan Belanda murka. Belanda segera menangkap sang Pangeran beserta staf maupun pengawal yang hadir saat perundingan tersebut, kemudian dibawa ke Batavia.

Khabar penangkapan Pangeran Raja Kanoman segera menyebar. Hal ini menimbulkan gejolak emosional di hati masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Berbondong-bondong perwakilan dari masing-masing daerah mendatangi Batavia. “Willem Arnold Alting” selaku Gubernur Jenderal VOC (1780-1797) segera menghindar, dan mereka hanya ditemui oleh wakilnya. Dalam pertemuan tersebut, wakil Gubernur Jenderal berjanji akan menyampaikan tuntutan dari perwakilan masyarakat Cirebon dan sekitarnya yang diantaranya: “Pembebasan Pangeran Raja Kanoman”.

Namun, kenyataan pahitlah yang diterima, Pangeran Raja Kanoman malah diasingkan oleh Belanda ke Ambon, tepatnya dipenjarakan di benteng “Victoria. Betapa kecewa dan sakit hatinya masyarakat saat mendengar khabar tersebut.

Tahun 1798 Sultan Anom IV wafat, dan seharusnya yang menjadi Sultan Anom V adalah Pangeran Raja Kanoman. Namun, karena beliau berada di pengasingan maka pilihan jatuh ke beberapa putra lainnya. Situasi ini dimanfaatkan Belanda untuk mendukung dan mengangkat “Pangeran Surantaka” sebagai Sultan Anom V, karena dianggap lebih kooperatif. Sikap kooperatif Pangeran Surantaka ini dengan alasan Cirebon telah bertahun-tahun berperang dengan Belanda, yang apabila dipaksakan maka Cirebon akan lemah dan dikuasai, maka jalan satu-satunya adalah bersikap kooperatif dulu dengan Belanda.

Kemarahan masyarakat Cirebon dan sekitarnya semakin memuncak saat Belanda secara semena-mena mengangkat Pangeran Surantaka sebagai Sultan Anom V, pengganti Sultan Anom IV, yang mestinya dijabat oleh Pangeran Raja Kanoman selaku Putra Mahkota. Para tokoh agama dan para pemimpin pasukan perjuangan mulai terus mengadakan perkumpulan untuk mencari Pemimpin Utama pengganti Pangeran Raja Kanoman. Mereka terus bermusyawarah, menggodok usulan beberapa tokoh yang diajukan sebagai pimpinan utama yang memiliki kemampuan bukan hanya dari sisi keprajuritan, namun juga dari sisi kedalaman ilmu agama dan spiritual yang mampu menggerakkan jiwa para pejuang.

Di tengah-tengah fakumnya perlawanan rakyat Cirebon, Belanda dan Penguasa lokal semakin merajalela bertindak semena-mena. Tanah-tanah partikelir di wilayah Cirebon dikuasakan pada Cina atas restu mereka. Hal ini menyebabkan kebencian pribumi terhadap pemerintah makin menjadi karena kondisi perekonomian rakyat semakin terpuruk.

Secara umum, tanah-tanah partikelir tersebut mulai muncul sejak tahun 1602-1799, berlanjut ke masa Daendels, Raffles, John Fendall, hingga Van der Capellen (1820). Pemilik tanah berhak memberlakukan berbagai macam pajak, yang tentunya sangat merugikan penduduk pribumi. Bahkan, praktik penjualan tanah tidak hanya meliputi tanah dan berbagai jenis tanaman, melainkan dengan petaninya juga. 

Berangkat dari kasus yang menimpa Pangeran Raja Kanoman dan beberapa kasus yang lainnya, rakyat Cirebon segera bertindak cepat menentukan pimpinan untuk memulai kembali pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan. Para kiyai dan para santri sepakat mengangkat “Ki Bagus Rangin” sebagai pemimpin utama dalam perjuangan rakyat Cirebon dan sekitarnya melawan penjajahan.

 

Walloohu A’lam Bish-Showaab

Semoga bermanfaat

 

Bersambung ke bagian kedua “Pemberontakan Bagus Rangin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar