Kisah Ki Bagus Rangin
Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”
Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir
Bagian Pertama
Perang Pangeran Raja
Kanoman
Syahdan, “Pangeran raja
Kanoman” (Pangeran Suryanegara, Putera Mahkota dari Sultan Anom IV) memulai
perjuangan bersama “Mirsa” dan masyarakat lain pada tahun 1788. Beliau mendapatkan
bantuan dari tokoh agama, meskipun akhirnya dapat dipatahkan. Perjuangan
kembali berlanjut pada tahun 1793, hingga akhirnya Belanda merasa kewalahan kemudian
merubah taktik.
Tahun
1796, Belanda mencoba melakukan negosiasi (perundingan) di rumah petinggi
belanda yang terletak di “Krucuk” (sekarang menjadi “Gedung Negara”). Belanda
diwakili oleh “Cheri Blum”, Kesultanan Kanoman diwakili oleh “Pangeran
Suryanegara”, sementara Kesultanan Kasepuhan tidak mengirimkan perwakilan
karena lebih cenderung melakukan perlawanan dengan senjata.
Awal
perundingan berjalan lancar, namun akhirnya buntu ketika Belanda mengajukan
beberapa proposal yang dianggap merugikan pihak Kesultanan baik Kanoman maupun
Kasepuhan.
Beberapa
isi dari proposal tersebut adalah:
1. Belanda diperbolehkan menanam politik
“Cultuurstelsel” (peraturan tanam paksa),
2. Hasil panen harus dijual kepada Belanda dengan
harga yang sudah ditentukan,
3. Kesultanan Kanoman maupun Kesultanan Kasepuhan
harus membayar ganti rugi perang.
Saat
membaca isi dari proposal tersebut, Pangeran Raja Kanoman segera bangkit menatap tajam seraya mendengus berkata: “Licik...!” lalu
merobek-robek proposal tersebut, yang mengakibatkan
Belanda murka. Belanda segera menangkap sang Pangeran beserta staf maupun pengawal
yang hadir saat perundingan tersebut, kemudian dibawa ke Batavia.
Khabar
penangkapan Pangeran Raja Kanoman segera menyebar. Hal ini menimbulkan gejolak
emosional di hati masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Berbondong-bondong perwakilan dari masing-masing daerah mendatangi Batavia. “Willem
Arnold Alting” selaku Gubernur Jenderal VOC (1780-1797) segera menghindar, dan mereka hanya ditemui
oleh wakilnya. Dalam pertemuan tersebut, wakil Gubernur Jenderal berjanji akan
menyampaikan tuntutan dari perwakilan masyarakat Cirebon dan sekitarnya yang
diantaranya: “Pembebasan Pangeran Raja Kanoman”.
Namun,
kenyataan pahitlah yang diterima, Pangeran Raja Kanoman malah diasingkan oleh
Belanda ke “Ambon”, tepatnya dipenjarakan di benteng “Victoria”. Betapa
kecewa dan sakit hatinya masyarakat saat mendengar khabar tersebut.
Tahun 1798 Sultan Anom IV
wafat, dan seharusnya yang menjadi Sultan Anom V adalah Pangeran Raja Kanoman.
Namun, karena beliau berada di pengasingan maka pilihan jatuh ke beberapa putra
lainnya. Situasi ini dimanfaatkan Belanda untuk mendukung dan mengangkat “Pangeran
Surantaka” sebagai Sultan Anom V, karena
dianggap lebih kooperatif. Sikap
kooperatif
Pangeran Surantaka ini dengan alasan Cirebon telah bertahun-tahun berperang dengan Belanda, yang apabila dipaksakan maka Cirebon akan lemah dan
dikuasai, maka jalan satu-satunya adalah bersikap
kooperatif dulu dengan Belanda.
Kemarahan
masyarakat Cirebon dan sekitarnya semakin memuncak saat Belanda secara
semena-mena mengangkat Pangeran Surantaka sebagai Sultan Anom V, pengganti
Sultan Anom IV, yang mestinya dijabat oleh Pangeran Raja Kanoman selaku Putra
Mahkota. Para tokoh agama dan para pemimpin pasukan perjuangan mulai terus
mengadakan perkumpulan untuk mencari Pemimpin Utama pengganti Pangeran Raja
Kanoman. Mereka terus bermusyawarah, menggodok usulan beberapa tokoh yang diajukan sebagai pimpinan utama yang memiliki kemampuan
bukan hanya dari sisi keprajuritan, namun juga dari sisi kedalaman ilmu agama
dan spiritual yang mampu menggerakkan jiwa para pejuang.
Di tengah-tengah fakumnya
perlawanan rakyat Cirebon, Belanda dan Penguasa lokal semakin merajalela
bertindak semena-mena. Tanah-tanah partikelir di wilayah Cirebon dikuasakan
pada Cina atas restu mereka. Hal ini menyebabkan kebencian pribumi terhadap
pemerintah makin menjadi karena kondisi perekonomian rakyat semakin terpuruk.
Secara umum, tanah-tanah partikelir tersebut mulai
muncul sejak tahun 1602-1799, berlanjut ke masa Daendels, Raffles, John
Fendall, hingga Van der Capellen (1820).
Pemilik tanah berhak
memberlakukan berbagai macam pajak, yang tentunya sangat
merugikan penduduk
pribumi. Bahkan, praktik penjualan tanah tidak hanya meliputi tanah dan
berbagai jenis tanaman, melainkan dengan petaninya juga.
Berangkat dari kasus yang menimpa Pangeran Raja
Kanoman dan beberapa kasus yang lainnya, rakyat Cirebon segera bertindak cepat
menentukan pimpinan untuk memulai kembali pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan.
Para kiyai dan para santri sepakat mengangkat “Ki Bagus Rangin” sebagai
pemimpin utama dalam perjuangan rakyat Cirebon dan sekitarnya melawan
penjajahan.
Walloohu A’lam Bish-Showaab
Semoga bermanfaat
Bersambung ke bagian kedua “Pemberontakan Bagus Rangin”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar