Kisah Ki Bagus Rangin
Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”
Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir
Bagian Keenam
Akhir
Perang Kedongdong
Syahdan, pada tanggal 1
Februari 1818, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letkol Richemont mulai bergerak
dari wilayah kota Cirebon menuju “Jamblang”, untuk memulai serangan
ke wilayah Kedongdong yang dianggap pusat dari kelompok Bagus Jabin. Di tempat
itu Letkol Richemont
dan pasukannya menunggu dengan harapan besoknya bisa
melancarkan serangan.
Namun, pada
saat itu juga muncul “Overste
Hoorn” dengan
menunjukkan putusan panglima untuk mengangkat dirinya sebagai komandan operasi. Richemont dengan
pasrah mematuhi perintah panglima tentara walaupun ia lebih tua dan diangkat
atas dasar surat keputusan dari Gubernur Jenderal sebagai Wali Negara Hindia
Belanda. Dengan perasaan tersinggung ia menyerahkan tongkat komandonya. Namun, di balik sikapnya yang terpuji ia melakukan
tindakan desersi. Ia meninggalkan
detasemennya dan kembali ke Tangkil, ibukota Cirebon.
Penggantian
tersebut menimbulkan ketidakpuasan diantara para prajurit Belanda, seperti Kapten Mulder, Letnan van Steenis dan Kapten van Gent
yang bertugas
untuk mengepung dan menyerang Kedongdong. Kondisi mental prajurit
ini membuat rencana penyerangan mengalami kegagalan dan pasukan terpaksa mundur ke Palimanan. Pasukan Bagus Jabin terus mengejar mereka, namun Pasukan Belanda mendapatkan bantuan dari pasukan
Bengali dan pasukan berkuda pimpinan Letnan Borneman dan Kapten Elout. Dengan
bantuan pasukan yang baru, Belanda akhirnya dapat
menghentikan pasukan Bagus Jabin, yang lalu mundur sampai ke seberang sungai “Sikaro”, anak
sungai Cimanuk.
Masih tanggal 1 Februari
1818, Richemont menulis surat kepada Gubernur Jenderal dan menjelaskan duduk
perkara yang sesungguhnya. Sudah tentu Gubernur Jenderal merasa dikerjai oleh
Panglima Perangnya,
Jenderal Anthing. Maka
keluarlah Keputusan Pemerintah No. 8 tanggal
6 Februari 1818 yang memerintahkan kepada panglima tentara untuk mengirim
penjelasan tentang alasan-alasan penyerahan komando kepada Letkol Hoorn atas
pasukan-pasukan yang berada di Cirebon. Jenderal
Anthing kemudian menjawabnya lewat surat No. 31
tanggal 17 Februari, bahwa Reichemont
telah menunjukkan sikap yang tercela pada saat itu. Hoorn juga menerima peringatan keras tentang tingkah
lakunya.
Pemerintah Belanda lalu
mengumumkan akan memberi hadiah 500 Real Spanyol (Sp M) bagi yang bisa
menangkap hidup-hidup para pemimpin besar seperti Bagus Jabin dan Nairem, 250
Real Spanyol (Sp M) bagi yang dapat menangkap pemimpin bawahan, dan 100 Real
Spanyol (Sp M) bagi yang dapat menyerahkan anggota pejuang.
Tanggal 25 Februari 1818
Nairem dapat ditangkap, dan setelah itu wilayah Rajagaluh, Kedongdong, dan
Palimanan dapat dikendalikan. Untuk menjaga keamanan daerah-daerah tersebut
dibangunlah sarana militer dan penempatan pasukan.
Pada saat Belanda sedang membangun sarana
militer di Palimanan, Bagus Serit bersama dengan 50 orang pasukan datang
menghancurkan sarana dan prasarana militer tersebut, serta merampas senjata dan pakaian yang ada disana. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh “Krieger” mundur ke wilayah “Kalitanjung” dan
berusaha untuk menghimpun kekuatan kembali.
Belanda kemudian mengumumkan akan memberikan 2.200
Gulden pada siapa saja yang dapat menangkap Bagus Serit hidup atau mati.
Tanggal 8
Agustus 1818 terjadi pertempuran antara pasukan Bagus Serit dengan pasukan Belanda di sekitar wilayah Sumber. Pada saat itu, pasukan
Belanda sempat mengalami kekalahan, namun pasukan Sultan
Sepuh “Raja
Udaka” datang
membantunya. Kedatangan pasukan dari Kesultanan Kasepuhan yang di luar
dugaan membuat pasukan Bagus Serit akhirnya terpukul mundur. Dalam pertempuran ini,
dengan tubuh penuh luka Bagus Serit dapat ditangkap pasukan Raja Udaka. Untuk
keberhasilannya menangkap Bagus Serit, Raja Udaka mendapatkan penghargaan dari pemerintah
kolonial Hindia Belanda.
Nairem dan Bagus Serit diseret dibawa ke meja pengadilan. Suasana persidangan dengan terdakwa dua tokoh pejuang
berlangsung begitu menegangkan. Banyak saksi dan bukti yang dibuat-buat untuk penguat
vonis kesalahan mereka berdua. Pembelaan dari banyak tokoh tidak ada artinya
dalam persidangan yang didominasi kebencian. Para pendukung yang berteriak akan
terdiam saat pucuk senapan diarahkan pada mereka. Tidak sedikit yang terkapar
karena nekat meronta mencoba melawan.
Putusan dibacakan yang
intinya bahwa terdakwa Nairem dan Bagus Serit terbukti telah melakukan makar
dengan memimpin pemberontak berbuat onar di wilayah pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan
surat keputusan pengadilan pemerintah Belanda, akhirnya Nairem dan Bagus Serit
divonis hukuman mati.
Sore itu pada tanggal 31
Oktober 1818, di hari Sabtu yang kelabu, saat senja mulai redup diantara angin yang malas bertiup, dua tubuh yang tampak rapuh dengan
tangan terikat kuat berjalan tertatih-tatih. Matanya yang tampak liar menatap
sekitar gambaran semangat jiwa yang terus berkobar. Entah sudah berapa kali
ayunan cambuk mendarat di sekujur tubuh yang membilur biru melepuh. Terseret-seret kaki melangkah maju berat membawa beban belenggu. Popor bedil kembali
menghantam saat lelah menyergap menghentikan langkah.
Sepanjang jalan bercecer
darah menggaris noktah sejarah beratnya pengorbanan dalam perjuangan melawan penjajah. Senyum sinis di bibir mencibir anjing
penjilat yang tertawa puas menjijikkan. Derap kaki para serdadu bersenjata
lengkap menggiring langkah dua sosok putra daerah yang terseok-seok bersusah
payah untuk terus berjalan. Langit semakin kelam saat mendung turun di senja
yang mencekam. Syahdu mendayu kicau burung bersenandung kidung nestapa di
belantara. Pilu dan sendu irama alam mengalun menuntun lantunan sya’ir menyayat
hati.
“Ya Allah Robbi, inilah
kami... Mohon diterima apa adanya...”
“Mohon akhiri perjalanan
ini... Dalam balutan Husnul Khotimah...”
Hutan Sumber menjadi
saksi, saat alam menangis diantara rintik gerimis. Kabut dingin mendekap hati memeluk kalbu yang rindu bertemu sang kekasih
abadi. Dua pasang mata terpejam mengulum senyum saat tali dari tihang gantungan
dipasang di leher dua pahlawan. Nyata dalam pandangan keduanya, banyak bayangan
putih yang tersenyum sangat manis turun dari langit melambai mengulurkan
tangan. Begitu ringan tangan menyambut menuntun diri melayang di suasana alam
yang cerah berseri di taman asri yang belum pernah mereka temui.
Dua pasang mata menatap
haru dari kejauhan. “Perjuangan kalian takan pernah berhenti di tangah jalan,”
lirih tertahan kalimat keluar dari salah satunya. “Akan lahir kembali Bagus
Serit yang lain dan Nairem yang baru,”
sambung orang yang ada di sebelahnya.
Selain Bagus Serit dan
Nairem yang dijatuhi hukuman gantung di hutan Sumber, para pemimpin perlawanan
yang lain dijatuhi hukuman dera dan dibuang selama 7 tahun dengan memakai
rantai besi. 14 orang pengikut setia dari Bagus Serit dihukum kerja paksa
seumur hidup di perusahaan Belanda di “Banda” (salah
satu gugusan pulau yang berada dalam wilayah Maluku), dan 7 orang
lainnya dihukum kerja paksa di kebun kopi “Banyuwangi”.
Sementara itu, pemerintah
Hindia Belanda masih terus memburu tokoh utama dari para pemberontak ini. Bagus
Jabin dan Ki Arsitem seakan lenyap di telan alam. Pemberontakan masih terus
saja terjadi di berbagai wilayah meski tak sedahsyat sebelumnya, dan tanpa
diketahui tokoh yang menjadi pimpinannya. Konon, pemberontakan baru berhenti
ketika Belanda mengancam para pemberontak dengan menyiapkan bom yang akan
diledakkan di makam “Sunan Gunung Jati”.
Setelah ditangkapnya para
pejuang dan berhentinya pemberontakan, sudah dapat dipastikan Belanda semakin
merajalela di Cirebon. Kerja Rodi, penarikan pajak, serta peraturan-peraturan
pemerintahan Belanda yang sewenang-wenang semakin menindas rakyat.
Pasca sederetan
peristiwa perjuangan rakyat Cirbon dan sekitarnya,
ada beberapa hal yang terjadi, diantaranya:
-
Dibangunnya benteng
di wilayah “Tomo” (Sumedang) dan wilayah “Palimanan”
(Cirebon).
-
Pangeran Kusumahdinata IX dari Sumedang, secara resmi diberikan
pangkat Pangeran dan penghargaan Bintang Emas oleh Belanda.
-
Raden Surialaga II secara resmi diberikan pangkat Adipati
dan dijadikan bupati Indramayu, namun karena ada peristiwa perubahan sebagian
tanah Indramayu menjadi tanah partikelir maka Raden Surialaga II dipindah
tugaskan menjadi bupati di “Sukapura” (sekarang sekitar Tasikmalaya dan Garut).
Dalam menghadapi pemberontakan
kelompok Bagus Rangin ini, Belanda mengalami kerugian mencapai 1.830 florijn
(Gulden), dalam riwayat lain mencapai 150.000 Gulden.
Walloohu A’lam
Bish-Showaab
Semoga bermanfaat
Bersambung ke bagian ketujuh “Strategi Dalam PerangKedongdong”
Baca juga:
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketiga
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keempat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar