Kisah Ki Bagus Rangin
Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”
Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir
Bagian Keempat
Pertempuran
Jawura Dan Bantarjati
Tahun 1807, “Carl Willem Thalman” yang merupakan “Voorzitter” (kepala pemeriksa tanah, pejabat Belanda) di Priyangan menjelaskan, dalam persiapan menumpas
pergerakan kelompok Bagus Rangin, pemerintah Belanda telah memerintahkan setiap kabupaten di Priyangan
dan Karawang untuk mengirimkan pasukannnya, terutama kabupaten-kabupaten yang
berbatasan dengan daerah perlawanan. Ditetapkan pula “Pangeran Kusumahdinata IX” (bupati Sumedang) dan “Raden Surialaga II” (putera almarhum Raden Surialaga I, bupati Sumedang era 1765-1773) sebagai komandan
Pasukan, dan diperkuat dengan pasukan yang didatangkan dari Batavia yang
dipimpin oleh seorang Mayor.
Pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Pangeran Kusumahdinata IX dan Raden Surialaga II bergerak menuju
wilayah “Jatitujuh”. Bagus Rangin pun segera menyiapkan kekuatan di lapangan
“Jawura” untuk menghadapinya. Jawura adalah lapangan yang memanjang dari timur
ke barat dengan luas sekitar lima hektar yang berada di sebelah barat desa “Kertajati”. Strategi yang digunakan oleh Bagus Rangin adalah strategi Buaya Mangap, strategi perang yang menggabungkan antara
kekuatan pasukan gerilya, kesenian tradisional seperti “Tayub”, dan
kemampuan untuk menyamar dan bersembunyi. Bagus Rangin memerintahkan anak buahnya untuk memasang lengkungan-lengkungan janur,
umbul-umbul merah, dan
ranting-ranting dari pohon beringin, dan setiap lengkungan janur dijaga oleh 3 orang prajurit. Ada
sekitar 20
lengkungan janur yang dipasang sebelum menuju
ke tenda kesenian, antara satu tenda dengan tenda lain dijaga sekitar 50 pasukan Bagus Rangin yang bersembunyi.
Bagus Rangin menempatkan
pasukannya di bagian utara lapangan tersebut, dan para komandan dari pasukannya
yang bersiap di lapangan Jawura diantaranya adalah: Ki Buyut Merat, Ki Buyut
Deisa, Ki Buyut Sena, Ki Buyut Jayakusuma, Ki Buyut Jago, Ki Buyut Teteg, Ki
Buyut Huyung, Ki Buyut Bongkok, dan Ki Buyut Jasu. Pasukan Belanda
yang melihat umbul-umbul yang dipasang Bagus Rangin di lapangan Jawura segera
membagi pasukannya, untuk menyerang pasukan Bagus Rangin.
Di dalam tenda kesenian para penari dan wiyaga (penabuh gamelan) yang juga merupakan
para prajurit Bagus Rangin, sibuk memainkan keseniannya. Alunan gamelan
yang mendayu seakan bersenandung lagu kematian. Lincah gemulai tarian melambai
memanggil malaikat maut untuk turun berpesta merenggut ratusan nyawa. Suara tabuhan
begitu syahdu terdengar di tengah suasana yang mencekam.
Tanpa suara Pangeran
Kusumahdinata IX dan Raden Surialaga II memberi isyarat tangan agar pasukan segera berpencar ke segala penjuru lapangan. Ratusan mata tajam terus mengintai di balik selimut kegelapan malam. Mata liar para wiyaga samar memutar memilih mangsa. Senyum para penari penuh misteri dibalik kerling mata
yang menggoda.
Malam semakin mencekam
saat hawa dingin mulai menusuk kulit. “Hkk...!” pekik tertahan pelan dari para
serdadu yang satu persatu rubuh ditikam dari belakang dengan mulut dibungkam. Mereka yang berpencar tiba-tiba ambruk
terjatuh bergantian dihantam anak panah. Segera siaga pasukan Belanda seraya
kalap menembak setiap benda yang bergerak. Tidak lama kemudian, “Alloohu
Akbar...!” teriakan Takbir terdengar disusul ratusan bayangan yang berkelebat
keluar menerjang dari balik kegelapan. Para wayaga berloncatan dengan cepat
meraih senjata yang telah dipersiapkan. Para penari gesit meraih panah langsung
membidik para serdadu. Pekik Takbir membaur campur bersama rentetan senapan
diantara jeritan kesakitan dan teriakan kemarahan.
Senandung kidung kematian mengiris
hati menghantar nyawa yang melayang berterbangan di lapangan Jawura. Cambuk Ki
Bagus Rangin mengayun kesana kemari memporak porandakan barisan musuh. Golok
yang terhunus dari pinggangnya terus berayun memburu mengerikan. Menjelang Shubuh, Pangeran Kusumahdinata IX dan Raden Surialaga II berteriak bersahutan: “Munduuur...! Munduuur...!”
Malam itu, pasukan
gabungan dari serdadu Belanda dan prajurit para antek-anteknya dibuat porak
poranda kalang kabut berlarian. Saat itu, prajurit “Ngabehi Dalem Indramayu” yang memihak Belanda banyak yang mati, bahkan “Astrasuta”,
patih Indramayu juga ikut tewas. Hal ini tentu saja membuat pemerintah Hindia
Belanda semakin berang. Sekitar tiga tahun kemudian Belanda berniat menyerang
pasukan Bagus Rangin kembali di wilayah “Bantarjati” (Kertajati, Majalengka). Namun,
kali ini dengan kekuatan dan persiapan yang lebih matang.
Tanggal 22 Juli 1810 pasukan Belanda datang menyerang Bantarjati. Kali ini melakukan
penyergapan dari dua sisi. Bagus Rangin yang tahu akan adanya penyerangan segera menyiapkan pasukan. Diapun mengatur formasi pasukan menjadi
tiga bagian. Dengan pakaian yang serba putih lengkap dengan ikat kepala, Ki Bagus
Rangin gagah duduk di punggung kuda dengan cambuk di tangan menunggu musuh di
barisan depan. “Ki Buyut Merat” dan “Ki Buyut Deisa” memimpin pasukan berdiri di sayap kiri dan kanan. Samar
terdengar dari bibir Ki Bagus Rangin lantunan sya’ir berbahasa Sunda:
“Babah mah bakal dicacag... Disiksik diipis-ipis...”
“Dicacag
diwalang-walang... Getihna arek diuyup...”
“Diburakeun
ka bangawan... Sugan lauk baranahan...”
“Tulangna
diawur-awur... Leuweung jati sugan subur...”
“Polona
arek dicokrok... Diburakeun ka galengan...”
“Rawinian
sugan montok...”
Tidak lama kemudian,
muncul pasukan Belanda dibawah pimpinan Pangeran Kusumahdinata IX. Dengan
membusungkan dada Ki Bagus Rangin menghela kudanya maju perlahan lalu berkata
lantang: “Wahai tuan Bupati, bertobatlah...! Di Jawura anda nyaris kehilangan
nyawa...! Sadarlah, jangan anda korbankan jiwa demi penjajah...!”
“Aku tak butuh khutbahmu,
hai Rangin...! Menyerahlah...! Jabatan apa yang kau inginkan, Pemerintah pasti akan mengabulkan...” balasnya.
Bagus Rangin meludah ke
tanah: “Cih...! Takan sudi aku menjadi anjing penjilat...! Lebih baik mati
berkalang tanah bersama rakyat...!”
Merah padam wajah sang
Bupati, lalu mendengus dengan mendelik memaki: “Bangsat...! Kau memang tak tahu
diuntung...!”
Ki Bagus Rangin tersenyum
sinis, sementara kudanya terus meronta tak sabaran. Sejenak kemudian, sang
Bupati berteriak: “Seraaang...!”
Segera para serdadu membidikkan senapan. Sejurus kemudian peluru berterbangan mengarah sasaran. Kuda Ki Bagus
Rangin makin meronta di antara desingan peluru yang dihalau dengan cambuk. Para
pejuang melurug maju tanpa rasa takut berteriak Takbir penuh keyakinan. Anak
panah bising berdesing terlepas berhamburan mencari mangsa. Golok tumbak berayun
kesana kemari menyodok menebas memburu mengejar pati. “Majuuu...!” terdengar
teriakan dari kiri dan kanan bersamaan.
Bupati Sumedang bersama
pasukannya mulai terdesak diserang dari kiri dan kanan, ketika tiba-tiba datang
pasukan Belanda yang dipimpin oleh Raden Surialaga II dari belakang para
pejuang. Ki Buyut Merat dan Ki Buyut Deisa segera berbalik menarik pasukan
untuk menghadapi lawan yang datang. Pasukan Ki Bagus Rangin terbagi dua
menghadapi musuh yang menyerbu dari depan dan dari belakang.
Namun, keterbatasan
senjata dan personil membuat pasukan Bagus Rangin terpaksa mundur. Hal ini
dimanfaatkan oleh pasukan Belanda untuk
melawan balik dengan memblokade wilayah Jatitujuh. Hal ini
dilakukan untuk memutus hubungan antara dua
kelompok pasukan yang terpecah dan mempersempit ruang geraknya. Bupati Sumedang ini dapat membangun kekuatan pasukannya lagi dan memukul mundur pasukan Bagus Rangin
hingga ke wilayah “Panongan” (Jatitujuh, Majalengka).
Dalam pertempuran tersebut
para pejuang mengalami kekalahan walaupun tidak sampai memakan banyak korban.
Mereka terpaksa lari berhamburan dan bersembunyi di hutan-hutan.
Tahun
1810,
Perancis di bawah pimpinan “Napoleon Bonaparte” melakukan “aneksasi” (pengambil alihan wilayah secara paksa) terhadap Belanda, disusul pengibaran bendera
Prancis oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Hal ini diketahui “Thomas Stamford Raffles” dan langsung
mengunjungi “Lord
Minto”, Gubernur
Jenderal “Britania” (bahasa Inggris: “Britain”, gabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia
dan Irlandia Utara) di India, untuk
mengusir Belanda dari Jawa.
Tanggal 16 Mei 1811 kedudukan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda diganti oleh “Jan Willem Janssens”, seorang pejabat Belanda yang sebelumnya telah mengalami kekalahan dan akhirnya
menyerahkan wilayah koloni Belanda di Tanjung Harapan (Afrika) kepada Britania.
Sekitar
tahun 1811,
Pemerintah “Britania” yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu, melakukan peperangan dengan pihak Hindia Belanda. Tanggal 3
Agustus 1811, Pasukan-pasukan
Britania mulai mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa, dan tanggal
26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak Britania dimulai. Hasil
peperangan tersebut membuat Belanda menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda
pada tanggal 17 September 1811 menyerah kepada Britania di Salatiga. Kemenangan ini
kemudian menjadikan “Thomas Stamford Raffles” diangkat sebagai Wakil Gubernur (bawahan Gubernur Jenderal) untuk wilayah Jawa.
Tanggal 18 September 1811 Jan Willem Janssens
ditangkap tentara Kerajaan Inggris pada pertempuran di “Buitenzorg”
(sekarang Bogor) yang otomatis mengakhiri kekuasaannya atas
wilayah Hindia Belanda.
Tanggal 9 Januari 1812, Thomas Stamford Raffles memerintahkan “Couperus” (seorang komisaris di Cianjur)
untuk mengumpulkan 500 orang prajurit dari Cianjur, yang nantinya akan
dipimpin oleh bupati Cianjur “Raden Wiranegara” (Raden Adipati “Wira Tanu
Datar VI”) untuk dikirim ke
wilayah Karawang guna menumpas kelompok Bagus Rangin. Raffles juga memerintahkan “Mangkunegaran” di Surakarta, untuk mengirim pasukan yang lalu
berangkat dengan dipimpin oleh Pangeran Mayor “Surianegara” dan”Suriadipura”.
Raden Surialaga II juga kembali diperintahkan untuk mengerahkan kembali
pasukannya.
Raden “Benggala” (Adipati
Wiralodra) dari Indramayu meminta bantuan “Pangeran Udaka” dari Kesultanan Kasepuhan (kelak selepas wafatnya Sultan Sepuh Joharuddin, dia
naik tahta menjadi Sultan Sepuh VIII) untuk menumpas perlawanan Bagus Rangin.
Terkait masalah ini, Pangeran Udaka lalu
menghubungi pemerintah kolonial Britania.
Pasukan gabungan
dari pemerintah Britania, para bupati Priyangan, Indramayu, dan Kesultanan
Kasepuhan lalu
bergerak dengan tujuan untuk mengepung kelompok Bagus Rangin.
Tanggal
16 Februari 1812, terjadi
pertempuran kembali di
wilayah Bantarjati. Kekuatan tentara gabungan yang sangat besar membuat pasukan
Bagus Rangin dapat dipukul mundur pada tanggal
29 Februari 1812, dan
akhirnya menderita kekalahan fatal. 87
orang prajurit Bagus Rangin tewas, dan 227
orang pasukan beserta dua orang pemimpinnya berhasil ditangkap. 23 pucuk
senapan, 19 buah
tombak, 27 pedang,
3 buah keris serta payung kebesaran yang
dipercaya sebagai milik Bagus Rangin dan
perlengkapan wayang berhasil dirampas oleh pasukan kolonial Britania. Selain
itu, 776
orang keluarga besar Bagus Rangin serta keluarga sebagian pasukannya yang terdiri dari wanita dan
anak-anak juga turut ditahan, namun dalam kesempatan tersebut Bagus Rangin
dan Bagus Serit berhasil meloloskan diri.
Adanya perang besar antara Hindia Belanda dan
Britania atau yang dikenal dengan nama “Perang Jawa Britania-Belanda” ternyata tidak menguntungkan gerakan perjuangan ini. Terbukti
dengan ditemuinya kegagalan setelah gerombolan yang dipimpin oleh “Nairem”, seorang
Demang dari “Pagadangan” (kemungkinan adalah Pekandangan atau Pegaden) dapat dikalahkan pada tanggal 25 Juni 1812.
Tanggal 27 Juni 1812 tersiar
khabar bahwa Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Britania di desa “Panongan”, dan beliau dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya
di desa “Karang Sambung” (dahulu tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan
sisi barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812.
Perang yang terjadi di
Bantarjati dari tanggal 16 sampai 29 Februari 1812 adalah perang yang terakhir dari
“Ki Bagus Rangin” dan berakhir dengan kekalahan di pihaknya, hingga tersiar
khabar beliau tertangkap di Panongan dan dihukum mati di Karangsambung.
Walloohu A’lam
Bish-Showaab
Semoga bermanfaat
Bersambung ke bagiang
kelima “Pemberontakan Bagus Jabin Dan Nairem”
Baca juga:
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar