Pasang BENNER dan dapatkan dolar tiap kunjungan. Mau...? klik DI SINI

Referral Banners

Senin, 06 Juni 2022

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keempat

 

Kisah Ki Bagus Rangin

Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”

Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir

 

Bagian Keempat

 

Pertempuran Jawura Dan Bantarjati

 

Tahun 1807, Carl Willem Thalmanyang merupakan Voorzitter(kepala pemeriksa tanah, pejabat Belanda) di Priyangan menjelaskan, dalam persiapan menumpas pergerakan kelompok Bagus Rangin, pemerintah Belanda telah memerintahkan setiap kabupaten di Priyangan dan Karawang untuk mengirimkan pasukannnya, terutama kabupaten-kabupaten yang berbatasan dengan daerah perlawanan. Ditetapkan pula Pangeran Kusumahdinata IX (bupati Sumedang) dan Raden Surialaga II (putera almarhum Raden Surialaga I, bupati Sumedang era 1765-1773) sebagai komandan Pasukan, dan diperkuat dengan pasukan yang didatangkan dari Batavia yang dipimpin oleh seorang Mayor.

Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Kusumahdinata IX dan Raden Surialaga II bergerak menuju wilayah “Jatitujuh”. Bagus Rangin pun segera menyiapkan kekuatan di lapangan “Jawura” untuk menghadapinya. Jawura adalah lapangan yang memanjang dari timur ke barat dengan luas sekitar lima hektar yang berada di sebelah barat desa “Kertajati”. Strategi yang digunakan oleh Bagus Rangin adalah strategi Buaya Mangap, strategi perang yang menggabungkan antara kekuatan pasukan gerilya, kesenian tradisional seperti “Tayub”, dan kemampuan untuk menyamar dan bersembunyi. Bagus Rangin memerintahkan anak buahnya untuk memasang lengkungan-lengkungan janur, umbul-umbul merah, dan ranting-ranting dari pohon beringin, dan setiap lengkungan janur dijaga oleh 3 orang prajurit. Ada sekitar 20 lengkungan janur yang dipasang sebelum menuju ke tenda kesenian, antara satu tenda dengan tenda lain dijaga sekitar 50 pasukan Bagus Rangin yang bersembunyi.

Bagus Rangin menempatkan pasukannya di bagian utara lapangan tersebut, dan para komandan dari pasukannya yang bersiap di lapangan Jawura diantaranya adalah: Ki Buyut Merat, Ki Buyut Deisa, Ki Buyut Sena, Ki Buyut Jayakusuma, Ki Buyut Jago, Ki Buyut Teteg, Ki Buyut Huyung, Ki Buyut Bongkok, dan Ki Buyut Jasu. Pasukan Belanda yang melihat umbul-umbul yang dipasang Bagus Rangin di lapangan Jawura segera membagi pasukannya, untuk menyerang pasukan Bagus Rangin.

Di dalam tenda kesenian para penari dan wiyaga (penabuh gamelan) yang juga merupakan para prajurit Bagus Rangin, sibuk memainkan keseniannya. Alunan gamelan yang mendayu seakan bersenandung lagu kematian. Lincah gemulai tarian melambai memanggil malaikat maut untuk turun berpesta merenggut ratusan nyawa. Suara tabuhan begitu syahdu terdengar di tengah suasana yang mencekam.

Tanpa suara Pangeran Kusumahdinata IX dan Raden Surialaga II memberi isyarat tangan agar pasukan segera berpencar ke segala penjuru lapangan. Ratusan mata tajam terus mengintai di balik selimut kegelapan malam. Mata liar para wiyaga samar memutar memilih mangsa. Senyum para penari penuh misteri dibalik kerling mata yang menggoda.

Malam semakin mencekam saat hawa dingin mulai menusuk kulit. “Hkk...!” pekik tertahan pelan dari para serdadu yang satu persatu rubuh ditikam dari belakang dengan mulut dibungkam. Mereka yang berpencar tiba-tiba ambruk terjatuh bergantian dihantam anak panah. Segera siaga pasukan Belanda seraya kalap menembak setiap benda yang bergerak. Tidak lama kemudian, “Alloohu Akbar...!” teriakan Takbir terdengar disusul ratusan bayangan yang berkelebat keluar menerjang dari balik kegelapan. Para wayaga berloncatan dengan cepat meraih senjata yang telah dipersiapkan. Para penari gesit meraih panah langsung membidik para serdadu. Pekik Takbir membaur campur bersama rentetan senapan diantara jeritan kesakitan dan teriakan kemarahan.

Senandung kidung kematian mengiris hati menghantar nyawa yang melayang berterbangan di lapangan Jawura. Cambuk Ki Bagus Rangin mengayun kesana kemari memporak porandakan barisan musuh. Golok yang terhunus dari pinggangnya terus berayun memburu mengerikan. Menjelang Shubuh, Pangeran Kusumahdinata IX dan Raden Surialaga II berteriak bersahutan: “Munduuur...! Munduuur...!”

Malam itu, pasukan gabungan dari serdadu Belanda dan prajurit para antek-anteknya dibuat porak poranda kalang kabut berlarian. Saat itu, prajurit “Ngabehi Dalem Indramayu” yang memihak Belanda banyak yang mati, bahkan “Astrasuta”, patih Indramayu juga ikut tewas. Hal ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda semakin berang. Sekitar tiga tahun kemudian Belanda berniat menyerang pasukan Bagus Rangin kembali di wilayah “Bantarjati” (Kertajati, Majalengka). Namun, kali ini dengan kekuatan dan persiapan yang lebih matang.

Tanggal 22 Juli 1810 pasukan Belanda datang menyerang Bantarjati. Kali ini melakukan penyergapan dari dua sisi. Bagus Rangin yang tahu akan adanya penyerangan segera menyiapkan pasukan. Diapun mengatur formasi pasukan menjadi tiga bagian. Dengan pakaian yang serba putih lengkap dengan ikat kepala, Ki Bagus Rangin gagah duduk di punggung kuda dengan cambuk di tangan menunggu musuh di barisan depan. “Ki Buyut Merat” dan “Ki Buyut Deisa” memimpin pasukan berdiri di sayap kiri dan kanan. Samar terdengar dari bibir Ki Bagus Rangin lantunan sya’ir berbahasa Sunda:

Babah mah bakal dicacag... Disiksik diipis-ipis...”

“Dicacag diwalang-walang... Getihna arek diuyup...”

“Diburakeun ka bangawan... Sugan lauk baranahan...”

“Tulangna diawur-awur... Leuweung jati sugan subur...”

“Polona arek dicokrok... Diburakeun ka galengan...”

“Rawinian sugan montok...”

Tidak lama kemudian, muncul pasukan Belanda dibawah pimpinan Pangeran Kusumahdinata IX. Dengan membusungkan dada Ki Bagus Rangin menghela kudanya maju perlahan lalu berkata lantang: “Wahai tuan Bupati, bertobatlah...! Di Jawura anda nyaris kehilangan nyawa...! Sadarlah, jangan anda korbankan jiwa demi penjajah...!”

“Aku tak butuh khutbahmu, hai Rangin...! Menyerahlah...! Jabatan apa yang kau inginkan, Pemerintah pasti akan mengabulkan...” balasnya.

Bagus Rangin meludah ke tanah: “Cih...! Takan sudi aku menjadi anjing penjilat...! Lebih baik mati berkalang tanah bersama rakyat...!”

Merah padam wajah sang Bupati, lalu mendengus dengan mendelik memaki: “Bangsat...! Kau memang tak tahu diuntung...!”

Ki Bagus Rangin tersenyum sinis, sementara kudanya terus meronta tak sabaran. Sejenak kemudian, sang Bupati berteriak: “Seraaang...!”

Segera para serdadu membidikkan senapan. Sejurus kemudian peluru berterbangan mengarah sasaran. Kuda Ki Bagus Rangin makin meronta di antara desingan peluru yang dihalau dengan cambuk. Para pejuang melurug maju tanpa rasa takut berteriak Takbir penuh keyakinan. Anak panah bising berdesing terlepas berhamburan mencari mangsa. Golok tumbak berayun kesana kemari menyodok menebas memburu mengejar pati. “Majuuu...!” terdengar teriakan dari kiri dan kanan bersamaan.

Bupati Sumedang bersama pasukannya mulai terdesak diserang dari kiri dan kanan, ketika tiba-tiba datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Raden Surialaga II dari belakang para pejuang. Ki Buyut Merat dan Ki Buyut Deisa segera berbalik menarik pasukan untuk menghadapi lawan yang datang. Pasukan Ki Bagus Rangin terbagi dua menghadapi musuh yang menyerbu dari depan dan dari belakang.  

Namun, keterbatasan senjata dan personil membuat pasukan Bagus Rangin terpaksa mundur. Hal ini dimanfaatkan oleh pasukan Belanda untuk melawan balik dengan memblokade wilayah Jatitujuh. Hal ini dilakukan untuk memutus hubungan antara dua kelompok pasukan yang terpecah dan mempersempit ruang geraknya. Bupati Sumedang ini dapat membangun kekuatan pasukannya lagi dan memukul mundur pasukan Bagus Rangin hingga ke wilayah Panongan” (Jatitujuh, Majalengka).

Dalam pertempuran tersebut para pejuang mengalami kekalahan walaupun tidak sampai memakan banyak korban. Mereka terpaksa lari berhamburan dan bersembunyi di hutan-hutan.

Tahun 1810, Perancis di bawah pimpinanNapoleon Bonapartemelakukan aneksasi (pengambil alihan wilayah secara paksa) terhadap Belanda, disusul pengibaran bendera Prancis oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Hal ini diketahui Thomas Stamford Rafflesdan langsung mengunjungiLord Minto”, Gubernur Jenderal Britania (bahasa Inggris: Britain”, gabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) di India, untuk mengusir Belanda dari Jawa.

Tanggal 16 Mei 1811 kedudukan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda diganti oleh Jan Willem Janssens”, seorang pejabat Belanda yang sebelumnya telah mengalami kekalahan dan akhirnya menyerahkan wilayah koloni Belanda di Tanjung Harapan (Afrika) kepada Britania.

Sekitar tahun 1811, Pemerintah Britania yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu, melakukan peperangan dengan pihak Hindia Belanda. Tanggal 3 Agustus 1811, Pasukan-pasukan Britania mulai mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa, dan tanggal 26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak Britania dimulai. Hasil peperangan tersebut membuat Belanda menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda pada tanggal 17 September 1811 menyerah kepada Britania di Salatiga. Kemenangan ini kemudian menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Wakil Gubernur (bawahan Gubernur Jenderal) untuk wilayah Jawa.

Tanggal 18 September 1811 Jan Willem Janssens ditangkap tentara Kerajaan Inggris pada pertempuran di Buitenzorg (sekarang Bogor) yang otomatis mengakhiri kekuasaannya atas wilayah Hindia Belanda.

Tanggal 9 Januari 1812,  Thomas Stamford Raffles memerintahkan “Couperus” (seorang komisaris di Cianjur) untuk mengumpulkan 500 orang prajurit dari Cianjur, yang nantinya akan dipimpin oleh bupati Cianjur “Raden Wiranegara” (Raden Adipati “Wira Tanu Datar VI”) untuk dikirim ke wilayah Karawang guna menumpas kelompok Bagus Rangin. Raffles juga memerintahkan “Mangkunegaran” di Surakarta, untuk mengirim pasukan yang lalu berangkat dengan dipimpin oleh Pangeran Mayor “Surianegara” dan”Suriadipura”. Raden Surialaga II juga kembali diperintahkan untuk mengerahkan kembali pasukannya.

Raden “Benggala” (Adipati Wiralodra) dari Indramayu meminta bantuan “Pangeran Udaka” dari Kesultanan Kasepuhan (kelak selepas wafatnya Sultan Sepuh Joharuddin, dia naik tahta menjadi Sultan Sepuh VIII) untuk menumpas perlawanan Bagus Rangin. Terkait masalah ini, Pangeran Udaka lalu menghubungi pemerintah kolonial Britania.

Pasukan gabungan dari pemerintah Britania, para bupati Priyangan, Indramayu, dan Kesultanan Kasepuhan lalu bergerak dengan tujuan untuk mengepung kelompok Bagus Rangin.

Tanggal 16 Februari 1812, terjadi pertempuran kembali di wilayah Bantarjati. Kekuatan tentara gabungan yang sangat besar membuat pasukan Bagus Rangin dapat dipukul mundur pada tanggal 29 Februari 1812, dan akhirnya menderita kekalahan fatal. 87 orang prajurit Bagus Rangin tewas, dan 227 orang pasukan beserta dua orang pemimpinnya berhasil ditangkap. 23 pucuk senapan, 19 buah tombak, 27 pedang, 3 buah keris serta payung kebesaran yang dipercaya sebagai milik Bagus Rangin dan perlengkapan wayang berhasil dirampas oleh pasukan kolonial Britania. Selain itu, 776 orang keluarga besar Bagus Rangin serta keluarga sebagian pasukannya yang terdiri dari wanita dan anak-anak juga turut ditahan, namun dalam kesempatan tersebut Bagus Rangin dan Bagus Serit berhasil meloloskan diri.

Adanya perang besar antara Hindia Belanda dan Britania atau yang dikenal dengan nama “Perang Jawa Britania-Belanda” ternyata tidak menguntungkan gerakan perjuangan ini. Terbukti dengan ditemuinya kegagalan setelah gerombolan yang dipimpin oleh Nairem”, seorang Demang dari Pagadangan (kemungkinan adalah Pekandangan atau Pegaden) dapat dikalahkan pada tanggal 25 Juni 1812.

Tanggal 27 Juni 1812 tersiar khabar bahwa Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Britania di desa “Panongan”, dan beliau dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya di desa “Karang Sambung” (dahulu tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan sisi barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812.

Perang yang terjadi di Bantarjati dari tanggal 16 sampai 29 Februari 1812 adalah perang yang terakhir dari “Ki Bagus Rangin” dan berakhir dengan kekalahan di pihaknya, hingga tersiar khabar beliau tertangkap di Panongan dan dihukum mati di Karangsambung.

 

Walloohu A’lam Bish-Showaab

Semoga bermanfaat

 

Bersambung ke bagiang kelima “Pemberontakan Bagus Jabin Dan Nairem

Baca juga:

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar