Pasang BENNER dan dapatkan dolar tiap kunjungan. Mau...? klik DI SINI

Referral Banners

Senin, 06 Juni 2022

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketujuh

 

Kisah Ki Bagus Rangin

Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”

Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir

 

Bagian Ketujuh

 

Strategi Dalam Perang Kedongdong

 

Syahdan, dalam Perang Kedongdong, banyak strategi perang yang digunakan, diantaranya dikenal dengan perang “Tutup Kembu”, yaitu memancing musuh masuk perangkap. Saat itu, para pejuang memancing Belanda keluar dari benteng, kemudian mengejar sampai ke markas pejuang di daerah “Jatitujuh”, Majalengka. Setelah masuk perangkap, pejuang langsung mengepung dan membantai pasukan penjajah.

Selain Tutup Kembu, salah satu strategi yang digunakan adalah strategi “Suluhan” yang efektif sebelum bocor dan diketahui Belanda. Melalui strategi suluhan ini, pasukan Belanda yang dipersenjatai meriam dan bedil mampu diporak porandakan oleh para pejuang yang hanya bersenjatakan panah, golok dan beberapa bedil yang kadang macet bahkan tak berfungsi karena ketiadaan peluru.

“Suluh” yang dimaksud adalah Obor”, sebab strategi mereka dalam berperang menggunakan obor. Obor yang digunakan untuk keperluan penerangan, dan menjadi ciri khas keberadaan orang di malam hari, dimanfaatkan pejuang untuk mengelabui musuh. Pasukan Belanda yang siaga menghadapi perlawanan di siang hari tidak dihiraukan para pejuang yang memilih masuk ke hutan sambil menunggu gelapnya malam.

Ketika malam datang, para pejuang muncul bergerak memancing Belanda dengan memasang ribuan suluh / obor palsu yang ditancapkan begitu saja, hingga dari kejauhan Belanda menganggap para pejuang akan melakukan penyerangan. Para pejuang juga menangkap kunang-kunang sebanyak-banyaknya kemudian dilepaskan di sekitar suluh, sehingga dari jauh cahaya kunang-kunang dan obor palsu yang telah disediakan seolah-olah bergerak mendekat. Belanda kemudian tanpa ampun menembaki sumber cahaya dengan meriam dan bedil, sementara disisi lain para pejuang membunyikan kentong dan gendang serta berteriak kencang seolah-olah mereka selamat dari tembakan meriam.

Manakala meriam Belanda kehabisan pelurunya, serta bunyi bedil tidak terdengar lagi, para pejuang yang sebelumnya bersembunyi jauh dari suluh / obor baru bergerak maju. Mereka mengepung, menyergap, dan membantai tentara Belanda yang kebingungan dengan tembakan anak panah, sabetan golok, hingga membalas dengan bedil sekenanya.

Kabar mengenai kekalahan telak Belanda oleh para pejuang sebetulnya tercatat dalam berita kolonial, dan Residen Cirebon dalam suratnya tanggal 30 Januari 1818 memberitahukan bahwa serangan umum pada kaum perlawanan ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1818 dan dengan optimis dia berkata: “kita akan dapat segera mengetahui berhasilnya operasi militer itu.” 

Namun, serangan umum pada awal Februari yang telah disiapkan dengan lengkap itu justru mengalami kekalahan, karena adanya masalah pemegang komando yang berdampak buruknya mental dan kedisiplinan pasukan sebagaimana laporan Residen Cirebon tanggal 4 Februari 1818, yang menyebutkan: “Pasukan tidak bertahan karena sikap pengecut dari pasukan pribumi dan pasukan Madura yang sebagian besar melarikan diri sebelum melepaskan tembakan”.

Kabar yang tersirat dalam laporan Residen Cirebon tersebut tentu tidak sepenuhnya benar, karena sebetulnya tentara Belanda yang di dalamnya terdapat tentara dari kalangan pribumi melarikan diri karena ketakutan selepas  peluru yang mereka miliki habis terbuang sia-sia akibat dari penggunaan strategi “Suluhan” oleh para pejuang.

Strategi Suluhan terbukti efektif dalam pertempuran malam, oleh karena itu strategi ini selalu digunakan pejuang berkali-kali, dan selama itu pula selalu mendapatkan kemenangan. Akan tetapi manakala strategi ini bocor, Belanda tidak lagi mampu dijebak. Di kemudian hari para pejuang pun menggunakan strategi lainnya yang tak kalah cerdasnya.

Ancaman pengeboman Makam Kanjeng Sunan, akhirnya berhasil meredakan hingga memadamkan perang yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Belanda lalu memburu dan menumpas para pengikut Bagus Rangin dan lainnya secara membabi buta.

Perlu diingat kembali, “Perang Kedongdong” adalah perang terbesar perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda yang luput dari “Sejarah Nasional”. Jauh sebelumnya sudah terjadi perlawanan dari para Kiyai dan kaum santri di bawah pimpinan “Kiyai Jatira”, “Kiyai Ardisela”, “Mbah Muqoyyim”, dan para “Laskar Ardisela”. Insya Allah, perjalanan hidup mereka akan penulis ceritakan dalam buku selanjutnya.

 

Walloohu A’lam Bish-Showaab

Semoga bermanfaat

 

(Tamat)

Baca juga:

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketiga

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keempat

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kelima

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keenam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar