Kisah Ki Bagus Rangin
Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”
Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir
Bagian Ketujuh
Strategi Dalam Perang
Kedongdong
Syahdan,
dalam Perang Kedongdong, banyak strategi perang yang digunakan, diantaranya dikenal dengan perang “Tutup Kembu”, yaitu memancing musuh masuk perangkap. Saat
itu, para pejuang memancing Belanda keluar dari benteng, kemudian mengejar
sampai ke markas pejuang di daerah “Jatitujuh”, Majalengka. Setelah masuk
perangkap, pejuang langsung mengepung dan membantai pasukan penjajah.
Selain Tutup Kembu, salah satu strategi yang digunakan adalah strategi “Suluhan”
yang efektif sebelum bocor dan diketahui Belanda. Melalui strategi suluhan ini, pasukan Belanda yang dipersenjatai meriam
dan bedil mampu diporak porandakan oleh para pejuang yang hanya bersenjatakan
panah, golok dan beberapa bedil yang kadang macet bahkan tak berfungsi karena
ketiadaan peluru.
“Suluh” yang dimaksud adalah “Obor”, sebab strategi mereka dalam berperang menggunakan obor. Obor
yang digunakan untuk keperluan penerangan, dan menjadi ciri khas keberadaan
orang di malam hari, dimanfaatkan pejuang untuk mengelabui musuh. Pasukan
Belanda yang siaga menghadapi perlawanan di siang hari tidak dihiraukan para pejuang yang memilih masuk ke hutan
sambil menunggu gelapnya malam.
Ketika
malam datang, para pejuang muncul bergerak memancing Belanda dengan memasang
ribuan suluh / obor palsu yang ditancapkan begitu saja, hingga dari kejauhan
Belanda menganggap para pejuang akan melakukan penyerangan. Para pejuang juga
menangkap kunang-kunang sebanyak-banyaknya kemudian dilepaskan di sekitar
suluh, sehingga dari jauh cahaya kunang-kunang dan obor palsu yang telah
disediakan seolah-olah bergerak mendekat. Belanda kemudian tanpa ampun
menembaki sumber cahaya dengan meriam dan bedil, sementara disisi lain para
pejuang membunyikan kentong dan gendang serta berteriak kencang seolah-olah mereka selamat dari tembakan meriam.
Manakala
meriam Belanda kehabisan pelurunya, serta bunyi bedil tidak terdengar lagi, para
pejuang yang sebelumnya bersembunyi jauh dari suluh / obor baru bergerak maju.
Mereka mengepung, menyergap, dan membantai tentara Belanda yang kebingungan
dengan tembakan anak panah, sabetan golok, hingga membalas dengan bedil sekenanya.
Kabar mengenai kekalahan telak Belanda oleh para
pejuang sebetulnya tercatat dalam berita kolonial, dan Residen Cirebon dalam
suratnya tanggal 30 Januari 1818 memberitahukan bahwa serangan umum pada kaum
perlawanan ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1818 dan dengan optimis dia
berkata: “kita akan dapat segera mengetahui berhasilnya
operasi militer itu.”
Namun,
serangan umum pada awal Februari yang telah disiapkan dengan lengkap itu justru
mengalami kekalahan, karena adanya masalah pemegang komando yang berdampak buruknya
mental dan kedisiplinan pasukan sebagaimana laporan Residen Cirebon tanggal 4
Februari 1818, yang menyebutkan: “Pasukan tidak bertahan karena sikap pengecut dari pasukan pribumi dan pasukan Madura yang
sebagian besar melarikan diri sebelum melepaskan tembakan”.
Kabar
yang tersirat dalam laporan Residen Cirebon tersebut tentu tidak sepenuhnya
benar, karena sebetulnya tentara Belanda yang di dalamnya terdapat tentara dari
kalangan pribumi melarikan diri karena ketakutan selepas peluru yang
mereka miliki habis terbuang sia-sia akibat dari penggunaan strategi “Suluhan”
oleh para pejuang.
Strategi
Suluhan terbukti efektif dalam pertempuran malam, oleh karena itu strategi ini
selalu digunakan pejuang berkali-kali, dan selama itu pula selalu mendapatkan
kemenangan. Akan tetapi manakala strategi ini bocor, Belanda tidak lagi mampu
dijebak. Di kemudian hari para pejuang pun menggunakan strategi lainnya yang
tak kalah cerdasnya.
Ancaman
pengeboman Makam Kanjeng Sunan, akhirnya berhasil meredakan hingga memadamkan
perang yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Belanda lalu memburu dan
menumpas para pengikut Bagus Rangin dan lainnya secara membabi buta.
Perlu diingat kembali, “Perang Kedongdong” adalah perang terbesar perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda
yang luput dari “Sejarah Nasional”. Jauh sebelumnya sudah terjadi perlawanan
dari para Kiyai dan kaum santri di bawah pimpinan “Kiyai Jatira”, “Kiyai
Ardisela”, “Mbah Muqoyyim”, dan para “Laskar Ardisela”. Insya Allah, perjalanan hidup mereka akan penulis ceritakan
dalam buku selanjutnya.
Walloohu A’lam
Bish-Showaab
Semoga bermanfaat
(Tamat)
Baca juga:
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketiga
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keempat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar