Pasang BENNER dan dapatkan dolar tiap kunjungan. Mau...? klik DI SINI

Referral Banners

Senin, 06 Juni 2022

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kelima

 

Kisah Ki Bagus Rangin

Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”

Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir

 

Bagian Kelima

 

Pemberontakan Bagus Jabin Dan Nairem

 

Syahdan, masyarakat desa Kedongdong sangat terpukul hatinya saat mendengar berita tertangkapnya Ki Bagus Rangin dan dipenggal di sekitar sungai Cimanuk. Bertahun-tahun tokoh idola ini selalu disanjung dan diharapkan keselamatannya di dalam setiap do’a yang dipanjatkan. Mereka merasa kehilangan sosok tegas dan berani namun santun penuh budi pekerti yang luhur. Acara Tahlil dan Do’a bersama digelar selama 40 malam di setiap tempat yang pernah disinggahinya dalam perjuangan.

Sore itu, Bagus Serit sedang duduk bersama Ki Arsitem di dalam masjid selepas sholat ‘Ashar. Sebagian jama’ah enggan untuk pulang demi mengenang saat-saat mendengarkan pengajian dan arahan dari Ki Bagus Rangin, sekaligus menunggu waktu Maghrib. Tiba-tiba, mereka dikejutkan oleh seseorang yang sangat dikenal masuk ke dalam masjid.

“Assalaamu ‘Alaikum... Para sedulur...!” sapanya beruluk salam.

“Wa ‘Alaikumussalaaam...!” jawab semua yang hadir serentak seraya menganga terbelalak serasa tidak percaya.

“Kakang...!” pekik Bagus Serit tertahan, karena melihat sosok yang datang segera memberi isyarat dengan telunjuk di mulut seraya berkata: “Ssst...! Aja Bribin...! (Jangan geger...!)”

Mereka saling berebut memeluk tokoh tersebut bergantian. Sejenak suasana syahdu bergelayut diantara kicau burung menjemput Maghrib.

Lama Ki Arsitem memeluk tubuh itu erat sekali, sebelum akhirnya melepasnya perlahan seraya berkata: “Al-Hamdu Lillah... ternyata Allah masih memberimu umur panjang. Kami baru saja membicarakanmu... ”

Tersenyum lembut orang tersebut berkata: “Tidak akan mati orang yang panjang umurnya dan belum sampai pada ajalnya...” lalu menatap semua yang hadir satu persatu: “Mulai saat ini, panggil namaku “Jabin”, artine, aja pada bribin, yen isun masih urip...!” (artinya, jangan geger, kalau aku masih hidup...!)

Tanggal 19 Agustus 1816, Jawa dikembalikan kepada Belanda dari Britania setelah berakhirnya perang Napoleon dan Raffles meninggalkan Jawa kemudian kembali ke Inggris.

Tanggal 8 Desember 1816, tersiar khabar bahwa sekitar 2.500 orang penduduk yang berasal dari Karawang, Ciasem dan Pamanukan dengan bersenjata lengkap berusaha mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Kelompok perlawanan tersebut dipimpin oleh “Bagus Jabin”, yang berkumpul di Lohbener dan berniat menyerang Kandanghaur”, untuk menggulingkan kepala daerah yang bekerjasama dengan Belanda, sekaligus menuntut Belanda agar menghentikan segala sistem upeti dan mengurangi pajak. Pada Tanggal 9 Desember 1816 kelompok Bagus Jabin berhasil menduduki Kandanghaur. Saat mendengar khabar tersebut, Residen Belanda untuk Cirebon, Willem Nicolaas Servatius lalu mengepung wilayah Kandanghaur selama 10 hari. Servatius pun memberikan peringatan agar Bagus Jabin segera menyerahkan diri, namun peringatan tersebut tidak ditanggapi.

Tanggal 20 Desember 1816 Residen menyerang Kandanghaur dari arah Losarang(timur) namun serangan Residen tersebut dapat ditahan oleh kelompok Bagus Jabin.

Residen Priyangan Gerrit Willem Casimir van Motman turut mengirim pasukannya yang berangkat melalui Wanayasa, diperkuat pasukan Belanda yang dipimpin oleh Raden Adipati Adiwijaya(anak Pangeran Kusumahdinata IX) yang menjadi bupati Limbangan sejak 1813 (sekarang bagian dari kabupaten Garut) kemudian berkumpul di Losarang”. Selain dari dua pasukan tersebut, Belanda juga mengirim pasukan dari Semarang sebanyak 160 orang dan dari Bengawan Wetan (Brebes) yang dipimpin oleh “Raden Tumenggung Nitidiningrat”.

Besarnya pasukan bantuan Belanda membuat kelompok Bagus Jabin terdesak, anggota kelompoknya yang hendak menyelamatkan diri menyeberangi Cimanuk di sebelah selatan dan timur harus berhadapan dengan pasukan yang datang dari arah Cirebon.

Dalam peristiwa tersebut, 25 orang kelompok Bagus Jabin berhasil menyelamatkan diri, 500 orang ditangkap, 100 orang mengalami luka berat, dan 60 orang tewas. Sementara dari pihak Belanda 15 orang tewas, termasuk didalamnya 4 orang asing dan 11 orang pribumi. Kelompok Bagus Jabin yang berhasil ditawan kemudian dibawa ke Cianjur untuk diadili.

Tanggal 19 Juni 1817 Inggris meninggalkan pulau Jawa. Beberapa hari kemudian timbul kerusuhan besar-besaran di distrik “Blandong” (diduga nama lain dari Balongan, Indramayu) oleh pasukan Bagus Jabin. Belanda menduga kalau Bagus Jabin mendapatkan perlindungan dari Kepala Desa Pamanukan dan Ciasem (kini keduanya masuk wilayah Kabupaten Subang). Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan, “Nairem” atau “Neirem”, Demang Desa Pedagangan (Pegaden, Subang) Distrik Indramayu bersama para pengikutnya melakukan perlawanan juga terhadap Belanda. Neirem adalah bekas anak buah Bagus Rangin, yang pada tahun 1811 melarikan diri ke hutan-hutan sekitar Karawang setelah banyak membuat kerusuhan. Bersama Nairem, ikut pula “Rono Diwonggo”, seorang pegawai dari Distrik Semarang.

Pertengahan kedua bulan Januari 1818, Kepala Distrik Blandong Demang Among Pances bersama jurutulisnya dibunuh para pejuang yang berjumlah 100 orang.

Pusat perlawanan berada di Kedongdong, yang oleh pihak Belanda disebut “negorij” (kampung) utama yang terpenting di daerah itu.

Tanggal 21 Januari 1818, Servatius melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bahwa sulit untuk pergi ke daerah itu.

Para pejuang memulai tindakannya dari daerah Karawang, lalu menyeberangi kali Cimanuk. Belanda diliputi perasaan teka-teki untuk menebak, siapa sebenarnya pemimpin perlawanan tersebut. Servatius menyatakan dalam laporannya pada tanggal 23 dan 24 Januari 1818, menyebut nama Bagus Kundor, yang diduga anak dari Bagus Rangin.

Servatius mengutus Bupati “Bengawan Wetan” (Brebes) “Raden Adipati Nitidiningrat” (usianya sekitar 70 tahun) ke pusat perlawanan. Turut dalam misi itu seorang opsiner kehutanan “Banyaran” bernama “Prudant”, orang yang sangat disegani dan sanggup mempertahankan nama baiknya. Konon, tempat kediamannya sering diserbu para pejuang namun ia selalu bisa menyelamatkan diri.

Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellenyang menjabat saat itu memerintahkan untuk mengirimkan pasukan secara besar-besaran dalam menghadapi perang di Cirebon.

Pada tanggal 25 Januari 1818 sebuah kapal meriam dikirim dari Batavia ke Cirebon dibawah pimpinan “Letnan W.H. Hunter”, sementara dari Semarang satu detasemen pasukan Belanda dibawah pimpinan “Kapten Couvreur” juga dikirim ke Cirebon.

Keperkasaan Bagus Jabin, Bagus Serit, dan Bagus Kundor ternyata membuat pasukan yang dipimpin Bupati Bengawan Wetan kocar-kacir, walaupun (atas perintah Servatius) diperkuat dengan pasukan Bupati “Linggarjati” (Kuningan). Bupati Nitidiningrat terpaksa mundur ke Palimanan, namun terpaksa berhadapan dengan para pejuang dan dia pun terbunuh disana bersama 2 orang mantrinya. Belanda sendiri kehilangan tiga orang perwira, yaitu “Letnan Van Horn”, “Letnan Wessel”, dan “Kapten Kalberg”, termasuk terdapat 50 orang prajurit Belanda yang tenggelam di sungai “Ciwaringin”. Mayat mereka diangkut ke desa “Cikal”, dan menunjukkan tanda-tanda penganiayaan yang berat.

Pada kejadian tersebut, Prudant dilaporkan melarikan diri ke daerah “Leuwimunding”. Penjara Palimanan dan Banyaran (tempat tinggal Prudant) diacak-acak hingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Asisten Residen Cirebon “Heyden” yang berusaha menyelamatkan diri ternyata membuat langkah yang sangat fatal. Dengan menunggang kuda ia pergi bersama 60 orang pembantunya tanpa diiringi tentara mendatangi tempat yang diduga menjadi basis perlawanan. Akhirnya, ia mendapat serangan yang berlangsung tiba-tiba. Pada 27 Januari 1818 pagi asisten tersebut mati terbunuh. Mayatnya ditemukan di sekitar Rajagaluh dan dimakamkan dengan penghormatan militer yang cukup besar.

Sementara itu Residen Priangan, “Van Motman”, seperti di tahun 1816, setelah mendengar adanya kerusuhan segera berangkat ke perbatasan untuk melindungi gudang-gudang di daerah “Tomo” (Karangsambung, Kadipaten). Residen bermaksud akan terus ke Cirebon untuk berunding dengan Residen Cirebon, Servatius. Namun tertahan di Karangsambung, karena pemberontak telah memutuskan segala sarana perhubungan yang ada.

Atas perintah Kepala Staf Angkatan Perang Hindia Belanda, Van Schelle”, ditugaskan seorang perwira muda yang baru dipromosikan sebagai ajudan kepala staf, Letnan Kolonel Taets van Amerongen. Melalui SK no. 1 tanggal 25 Januari 1818, ia diperintah berangkat melalui laut dengan membawa pasukan infantri, kompi pribumi dari Batalyon 19 Infantri dan 30 anggota artileri yang dilengkapi dua meriam. Mereka berangkat dengan menumpang kapal Helena pada 26 Januari dan dua hari kemudian tiba di Cirebon. Pasukan ini dipimpin oleh Letkol Richemont dari Resimen V Batalyon 1 yang berada di Weltevreden.

Tanggal 27 Januari 1818, dikirim juga dua macam pasukan kavaleri (pasukan berkuda) dari Bogor. Diantaranya satu pasukan tombak Bengali yang terdiri dari tentara yang telah diberhentikan dan menetap di Jawa. Kompi ini berangkat atas perintah lisan Gubernur Jenderal dan berangkat lewat Sumedang di bawah pimpinan “Halshuher von Harloch. Pasukan tersebut ditugaskan hanya sampai di perbatasan Cirebon sebagai bantuan untuk Residen Cirebon dan Priangan. Ketika sampai di Cirebon mereka diistirahatkan di Karang Sambung bersama pasukan Belanda lainnya yang berasal dari Priangan. Gubernur Jenderal juga memerintahkan Laksamana Muda Wolterbeek agar memberangkatkan kapal meriam no. 7 ke Cirebon di bawah pimpinan Letnan WH Hunther.

Surat Residen Cirebon kepada Gubernur Jenderal tanggal 30 Januari yang memberitakan pendaratan pasukan dari Batavia, juga berisi berita penetapan serangan umum pada tanggal 2 Februari 1818.

 

Walloohu A’lam Bish-Showaab

Semoga bermanfaat

 

Bersambung ke bagian keenam “Akhir Perang Kedongdong

Baca juga:

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketiga

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keempat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar