Kisah Ki Bagus Rangin
Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”
Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir
Bagian Kelima
Pemberontakan
Bagus Jabin Dan Nairem
Syahdan, masyarakat desa
Kedongdong sangat terpukul hatinya saat mendengar berita tertangkapnya Ki Bagus
Rangin dan dipenggal di sekitar sungai Cimanuk. Bertahun-tahun tokoh idola ini selalu disanjung dan diharapkan keselamatannya di dalam setiap
do’a yang dipanjatkan. Mereka merasa kehilangan sosok tegas dan berani namun
santun penuh budi pekerti yang luhur. Acara Tahlil dan Do’a bersama digelar selama 40 malam di setiap tempat yang pernah
disinggahinya dalam perjuangan.
Sore itu, Bagus Serit
sedang duduk bersama Ki Arsitem di dalam masjid selepas sholat ‘Ashar. Sebagian
jama’ah enggan untuk pulang demi mengenang saat-saat mendengarkan pengajian dan
arahan dari Ki Bagus Rangin, sekaligus menunggu waktu Maghrib. Tiba-tiba,
mereka dikejutkan oleh seseorang yang sangat dikenal masuk ke dalam masjid.
“Assalaamu ‘Alaikum...
Para sedulur...!” sapanya beruluk salam.
“Wa ‘Alaikumussalaaam...!”
jawab semua yang hadir serentak seraya menganga terbelalak serasa tidak
percaya.
“Kakang...!” pekik Bagus
Serit tertahan, karena melihat sosok yang datang segera memberi isyarat dengan
telunjuk di mulut seraya berkata: “Ssst...! Aja Bribin...! (Jangan geger...!)”
Mereka saling berebut
memeluk tokoh tersebut bergantian. Sejenak suasana syahdu bergelayut diantara
kicau burung menjemput Maghrib.
Lama Ki Arsitem memeluk
tubuh itu erat sekali, sebelum akhirnya melepasnya perlahan seraya berkata: “Al-Hamdu Lillah... ternyata Allah masih memberimu umur
panjang. Kami baru saja membicarakanmu... ”
Tersenyum lembut orang
tersebut berkata: “Tidak akan mati orang yang panjang umurnya dan belum sampai pada
ajalnya...” lalu menatap semua yang hadir satu persatu: “Mulai saat ini,
panggil namaku “Jabin”, artine, aja pada bribin, yen isun masih urip...!”
(artinya, jangan geger, kalau aku masih hidup...!)
Tanggal 19 Agustus 1816, Jawa dikembalikan kepada
Belanda dari Britania setelah berakhirnya perang Napoleon dan Raffles meninggalkan Jawa kemudian
kembali ke Inggris.
Tanggal 8 Desember 1816, tersiar khabar bahwa sekitar 2.500 orang penduduk yang
berasal dari Karawang, Ciasem dan Pamanukan dengan bersenjata lengkap berusaha mengadakan
perlawanan terhadap Belanda. Kelompok perlawanan
tersebut dipimpin oleh “Bagus Jabin”, yang berkumpul di “Lohbener” dan berniat menyerang “Kandanghaur”, untuk menggulingkan kepala
daerah yang bekerjasama dengan Belanda, sekaligus menuntut Belanda agar menghentikan
segala sistem upeti dan mengurangi pajak. Pada Tanggal 9 Desember 1816 kelompok Bagus Jabin
berhasil menduduki Kandanghaur. Saat mendengar
khabar tersebut, Residen Belanda untuk Cirebon, “Willem
Nicolaas Servatius” lalu mengepung wilayah Kandanghaur selama 10 hari. Servatius pun memberikan peringatan agar Bagus
Jabin segera menyerahkan diri, namun
peringatan tersebut tidak
ditanggapi.
Tanggal
20 Desember 1816 Residen menyerang Kandanghaur dari arah “Losarang” (timur) namun
serangan Residen tersebut dapat
ditahan oleh kelompok Bagus Jabin.
Residen Priyangan “Gerrit Willem Casimir van Motman” turut mengirim pasukannya yang berangkat
melalui “Wanayasa”, diperkuat
pasukan Belanda yang dipimpin oleh “Raden
Adipati Adiwijaya” (anak Pangeran Kusumahdinata
IX) yang menjadi bupati “Limbangan” sejak
1813 (sekarang bagian dari kabupaten Garut) kemudian
berkumpul di “Losarang”. Selain
dari dua pasukan
tersebut, Belanda juga mengirim pasukan dari Semarang sebanyak 160 orang dan dari “Bengawan Wetan” (Brebes) yang
dipimpin oleh “Raden Tumenggung Nitidiningrat”.
Besarnya pasukan bantuan
Belanda membuat kelompok Bagus Jabin terdesak, anggota kelompoknya yang hendak
menyelamatkan diri menyeberangi Cimanuk di sebelah selatan dan timur harus
berhadapan dengan pasukan yang datang dari arah Cirebon.
Dalam peristiwa tersebut, 25 orang
kelompok Bagus Jabin berhasil menyelamatkan diri, 500 orang ditangkap, 100
orang mengalami luka berat, dan 60
orang tewas. Sementara dari pihak Belanda 15 orang tewas,
termasuk didalamnya 4 orang asing dan 11 orang pribumi. Kelompok Bagus Jabin yang berhasil ditawan kemudian
dibawa ke Cianjur untuk
diadili.
Tanggal 19 Juni 1817
Inggris meninggalkan pulau Jawa. Beberapa hari kemudian timbul kerusuhan
besar-besaran di distrik “Blandong” (diduga nama lain dari Balongan, Indramayu) oleh pasukan Bagus Jabin. Belanda menduga
kalau Bagus Jabin mendapatkan perlindungan dari Kepala Desa Pamanukan dan
Ciasem (kini keduanya masuk wilayah Kabupaten Subang). Sementara itu, pada saat
yang hampir bersamaan, “Nairem” atau “Neirem”, Demang Desa Pedagangan (Pegaden,
Subang) Distrik Indramayu bersama para pengikutnya melakukan perlawanan juga terhadap
Belanda. Neirem adalah bekas anak buah Bagus Rangin, yang pada tahun 1811
melarikan diri ke hutan-hutan sekitar Karawang setelah banyak membuat
kerusuhan. Bersama Nairem, ikut pula “Rono Diwonggo”, seorang pegawai dari
Distrik Semarang.
Pertengahan kedua bulan
Januari 1818, Kepala Distrik Blandong Demang Among Pances bersama jurutulisnya
dibunuh para pejuang yang berjumlah 100 orang.
Pusat perlawanan berada di
Kedongdong, yang oleh pihak Belanda disebut “negorij” (kampung) utama yang
terpenting di daerah itu.
Tanggal 21 Januari 1818,
Servatius melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bahwa sulit untuk
pergi ke daerah itu.
Para pejuang memulai
tindakannya dari daerah Karawang, lalu menyeberangi kali Cimanuk. Belanda
diliputi perasaan teka-teki untuk menebak, siapa sebenarnya pemimpin perlawanan
tersebut. Servatius menyatakan dalam laporannya pada tanggal 23 dan 24 Januari
1818, menyebut nama Bagus Kundor, yang diduga anak dari Bagus Rangin.
Servatius mengutus Bupati “Bengawan
Wetan” (Brebes) “Raden Adipati Nitidiningrat” (usianya sekitar 70 tahun) ke
pusat perlawanan. Turut dalam misi itu seorang opsiner kehutanan “Banyaran”
bernama “Prudant”, orang yang sangat disegani dan sanggup mempertahankan nama
baiknya. Konon, tempat kediamannya sering diserbu para pejuang namun ia selalu
bisa menyelamatkan diri.
Gubernur Jenderal
“Godert Alexander Gerard Philip baron van der
Capellen” yang
menjabat saat itu
memerintahkan untuk mengirimkan pasukan secara besar-besaran dalam menghadapi perang
di Cirebon.
Pada tanggal 25 Januari
1818 sebuah kapal meriam dikirim dari Batavia ke Cirebon dibawah pimpinan “Letnan W.H. Hunter”, sementara dari Semarang satu detasemen pasukan Belanda
dibawah pimpinan “Kapten Couvreur” juga dikirim ke Cirebon.
Keperkasaan Bagus Jabin,
Bagus Serit, dan Bagus Kundor ternyata membuat pasukan yang dipimpin Bupati
Bengawan Wetan kocar-kacir, walaupun (atas perintah Servatius) diperkuat dengan
pasukan Bupati “Linggarjati” (Kuningan). Bupati Nitidiningrat terpaksa mundur
ke Palimanan, namun terpaksa berhadapan dengan para pejuang dan dia pun terbunuh disana
bersama 2 orang mantrinya. Belanda sendiri kehilangan tiga orang perwira, yaitu
“Letnan Van Horn”, “Letnan Wessel”, dan “Kapten Kalberg”, termasuk terdapat 50
orang prajurit Belanda yang tenggelam di sungai “Ciwaringin”. Mayat mereka
diangkut ke desa “Cikal”, dan menunjukkan tanda-tanda penganiayaan yang berat.
Pada kejadian tersebut,
Prudant dilaporkan melarikan diri ke daerah “Leuwimunding”. Penjara Palimanan
dan Banyaran (tempat tinggal Prudant) diacak-acak hingga menimbulkan kerugian
yang tidak sedikit. Asisten Residen Cirebon “Heyden” yang berusaha menyelamatkan
diri ternyata membuat langkah yang sangat fatal. Dengan menunggang kuda ia pergi bersama 60 orang pembantunya tanpa diiringi tentara mendatangi tempat yang
diduga menjadi basis perlawanan. Akhirnya, ia mendapat serangan yang
berlangsung tiba-tiba. Pada 27 Januari 1818 pagi asisten tersebut mati
terbunuh. Mayatnya ditemukan di sekitar Rajagaluh dan dimakamkan dengan
penghormatan militer yang cukup besar.
Sementara itu Residen
Priangan, “Van Motman”, seperti di tahun 1816, setelah mendengar adanya kerusuhan
segera berangkat ke perbatasan untuk melindungi gudang-gudang di daerah “Tomo”
(Karangsambung, Kadipaten). Residen bermaksud akan terus ke Cirebon untuk
berunding dengan Residen Cirebon,
Servatius. Namun tertahan
di Karangsambung, karena pemberontak telah memutuskan segala sarana perhubungan
yang ada.
Atas perintah
Kepala Staf Angkatan Perang Hindia Belanda, “Van Schelle”, ditugaskan seorang perwira muda yang baru
dipromosikan sebagai ajudan kepala staf, “Letnan
Kolonel Taets van Amerongen”.
Melalui SK no. 1 tanggal 25 Januari 1818, ia diperintah berangkat melalui
laut dengan membawa pasukan infantri, kompi pribumi dari Batalyon 19 Infantri
dan 30 anggota artileri yang dilengkapi dua meriam. Mereka berangkat dengan menumpang kapal Helena pada 26
Januari dan dua hari
kemudian tiba di Cirebon. Pasukan ini
dipimpin oleh “Letkol Richemont” dari Resimen V Batalyon 1 yang berada di
Weltevreden.
Tanggal 27 Januari 1818,
dikirim juga dua macam pasukan kavaleri (pasukan berkuda) dari Bogor. Diantaranya satu pasukan tombak Bengali yang terdiri dari
tentara yang telah diberhentikan dan menetap di Jawa. Kompi ini berangkat atas perintah lisan Gubernur Jenderal dan berangkat lewat Sumedang
di bawah pimpinan “Halshuher von Harloch”. Pasukan tersebut ditugaskan hanya sampai di perbatasan Cirebon sebagai bantuan
untuk Residen Cirebon dan Priangan. Ketika sampai di Cirebon
mereka diistirahatkan di Karang Sambung bersama pasukan Belanda lainnya yang berasal dari
Priangan. Gubernur Jenderal juga memerintahkan
Laksamana Muda “Wolterbeek” agar memberangkatkan kapal meriam no. 7 ke Cirebon di bawah pimpinan “Letnan WH Hunther”.
Surat Residen Cirebon kepada Gubernur Jenderal tanggal 30 Januari yang
memberitakan pendaratan pasukan dari Batavia, juga berisi berita penetapan serangan umum pada tanggal 2 Februari 1818.
Walloohu A’lam
Bish-Showaab
Semoga bermanfaat
Bersambung ke bagian
keenam “Akhir Perang Kedongdong”
Baca juga:
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua
Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar