Pasang BENNER dan dapatkan dolar tiap kunjungan. Mau...? klik DI SINI

Referral Banners

Senin, 06 Juni 2022

Biografi Leluhur Sunan Gunung Jati Bagian Ke 10 (Sayyid 'Ubaidulloh)

     Biografi Leluhur Syaikh Syarif Hidayatulloh Dan Wali Songo

(Bagian ke 10)


Silsilah Syaikh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati)


1. Sayyiduna Muhammad

2. Sayyidatuna Fathimah + Sayyiduna ‘Ali bin Abi Tholib  

3. Sayyid Al-Husain  

4. Sayyid ‘Ali Zainul ‘Abidin  

5. Sayyid Muhammad Al-Baqir  

6. Sayyid Ja’far As-Shodiq  

7. Sayyid ‘Ali Al-‘Uroidli  

8. Sayyid Muhammad Annaqib  

9. Sayyid ‘Isa Arrumi / Al-Azroq  

10. Sayyid Ahmad Al-Muhajir  

11. Sayyid ‘Ubaidulloh  

12. Sayyid ‘Alawi Al-Awwal / Al-Akbar  

13. Sayyid Muhammad Shohibush-Shouma’ah 

14. Sayyid ‘Alawi Ats-Tsani / Al-Ashghor  

15. Sayyid ‘Ali Kholi’ Qosam  

16. Sayyid Muhammad Shohib Mirbath  

17. Sayyid ‘Alawi ‘Ammul Faqih Al-Muqoddam  

18. Sayyid ‘Abdul Malik ‘Adzmat Khon  

19. Sayyid ‘Abdulloh ‘Adzmat Khon  

20. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin  

21. Sayyid Al-Husain Jamaluddin / Syaikh Jumadil Kubro  

22. Sayyid ‘Ali Nurul ‘Alam / Nuruddin  

23. Sayyid ‘Abdulloh ‘Umdatuddin  

24. Syaikh Syarif Hidayatulloh  


Biografi Leluhur Syaikh Syarif Hidayatulloh 


10.       Sayyid ‘Abdulloh /‘Ubaidulloh

 

Beliau adalah Sayyiduna Abu ‘Alawi, ‘Abdulloh / ‘Ubaidulloh bin Sayyid Ahmad (Al-Muhajir) bin Sayyid ‘Isa (Ar-Rumi / Al-Azroq) bin Sayyid Muhammad (Annaqib) bin Sayyid ‘Ali (Al-‘Uroidli) bin Sayyid Ja’far (Ash-Shodiq) bin Sayyid Muhammad (Al-Baqir) bin Sayyid ‘Ali (Zainul ‘Abidin) bin Sayyid Al-Husain bin Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib / bin Sayyidatina Fathimah Az-Zahro` binti Rosulillah.

Beliau lahir dan besar di Bashroh dalam bimbingan ayahnya, dan banyak mempelajari berbagai bidang ilmu dari banyak ‘Ulama yang lainya. Beliau ikut Hijrah bersama ayahnya ke Hadlromaut dan menetap di Al-Husaisah, kemudian pindah ke kampung Sumal (tidak jauh dari Al-Husaisah, sekitar 6 mil dari Tarim) dan meninggal dunia disana tahun 383 H.

Sayyid ‘Abdulloh namanya di-Tashghir menjadi ‘Ubaidulloh, karena saking adabnya pada Allah dan sifat Tawadlu’ yang dimilikinya. Beliau termasuk penghapal Hadits, dan banyak tokoh pada masanya yang menimba ilmu darinya. Beliau memiliki harta yang banyak, dan gemar berbagi kekayaan karena saking dermawannya. Beliaupun suka membeli tanah (lahan), dan kebun korma adalah kekayaan yang disukainya. Banyak penyair dan satrawan yang menyanjungnya dan beliau membalasnya dengan melimpah.

Sayyid ‘Ubaidulloh memiliki 3 orang putra, yaitu:

1.       Sayyid ‘Alawi Al-Akbar, leluhur keluarga Abi ‘Alawi / Ba’Alawi / ‘Alawiyyin,

2.       Sayyid Bashri, keturunannya pupus di awal abad ke 7 H,

3.       Sayyid Jadid, keturunannya pupus di awal abad ke 7 H.

 

(“Syamsudz-Dzohiroh”, “Asy-Syajarotuz-Zakiyyah”, dan “Al-Masyro’ur-Rowi”)

 

والله أعلم بالصواب


Oleh: Abi Kayyis Al-Mahdawi


Bersambung


Semoga Bermanfaat

Biografi Leluhur Sunan Gunung Jati Bagian Ke 9 (Sayyid Ahmad Al-Muhajir)

    Biografi Leluhur Syaikh Syarif Hidayatulloh Dan Wali Songo

(Bagian ke 9)


Silsilah Syaikh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati)


1. Sayyiduna Muhammad

2. Sayyidatuna Fathimah + Sayyiduna ‘Ali bin Abi Tholib  

3. Sayyid Al-Husain  

4. Sayyid ‘Ali Zainul ‘Abidin  

5. Sayyid Muhammad Al-Baqir  

6. Sayyid Ja’far As-Shodiq  

7. Sayyid ‘Ali Al-‘Uroidli  

8. Sayyid Muhammad Annaqib  

9. Sayyid ‘Isa Arrumi / Al-Azroq  

10. Sayyid Ahmad Al-Muhajir  

11. Sayyid ‘Ubaidulloh  

12. Sayyid ‘Alawi Al-Awwal / Al-Akbar  

13. Sayyid Muhammad Shohibush-Shouma’ah 

14. Sayyid ‘Alawi Ats-Tsani / Al-Ashghor  

15. Sayyid ‘Ali Kholi’ Qosam  

16. Sayyid Muhammad Shohib Mirbath  

17. Sayyid ‘Alawi ‘Ammul Faqih Al-Muqoddam  

18. Sayyid ‘Abdul Malik ‘Adzmat Khon  

19. Sayyid ‘Abdulloh ‘Adzmat Khon  

20. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin  

21. Sayyid Al-Husain Jamaluddin / Syaikh Jumadil Kubro  

22. Sayyid ‘Ali Nurul ‘Alam / Nuruddin  

23. Sayyid ‘Abdulloh ‘Umdatuddin  

24. Syaikh Syarif Hidayatulloh  


Biografi Leluhur Syaikh Syarif Hidayatulloh 


9.       Sayyid Ahmad Al-Muhajir

 

Beliau adalah Sayyiduna Ahmad (Al-Muhajir) bin Sayyid ‘Isa (Ar-Rumi / Al-Azroq) bin Sayyid Muhammad (Annaqib) bin Sayyid ‘Ali (Al-‘Uroidli) bin Sayyid Ja’far (Ash-Shodiq) bin Sayyid Muhammad (Al-Baqir) bin Sayyid ‘Ali (Zainul ‘Abidin) bin Sayyid Al-Husain bin Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib / bin Sayyidatina Fathimah Az-Zahro` binti Rosulillah.

Beliau lahir di Bashroh tahun 260 H, lalu Hijrah ke Madinah bersama keluarga dan para pengikutnya pada tahun 317 H. Setahun kemudian beliau pergi Hajji dan bertemu dengan rombongan dari Hadlromaut (Yaman).

Cerita mereka tentang keindahan Yaman dan kebaikan penghuninya membuatnya tertarik, hingga selesai Hajji beliau bersama rombongannya pergi ke Yaman. Beliau berpindah-pindah tempat dari satu daerah ke daerah yang lain, hingga sampai ke Hadlromaut pada tahun 320 H, dan menetap di Al-Husaisah (الحسيسة) salah satu desa di Tarim, hingga beliau wafat tahun 345 H. Inilah penyebabnya kemudian beliau dijuluki dengan “Al-Muhajir”.

Sayyid Ahmad Al-Muhajir adalah Syaikhul Islam yang Hijrah dari tanah kelahiran demi meraih Ridlo dari Dzat Yang Maha Rohman. Beliau orang yang menghidupkan Sunnah dan meletakkan pondasi dan dasar-dasarnya. Memiliki kedudukan yang tinggi semenjak masih di ‘Iraq, orang yang Zuhud, dan berprilaku terpuji. Penyebab beliau Hijrah sebab keadaan di ‘Iraq sudah mulai rusak.

Anak keturunannya di Hadlromaut adalah tokoh-tokoh terkemuka yang sebagian dari mereka kemudian dikenal dengan “’Alawiyyin” (dibangsakan pada cucunya yaitu Sayyid ‘Alawi bin Sayyid ‘Ubaidullah), dan kemudian banyak menyebar ke Asia dan lainnya, khususnya di Indonesia.

Sayyid Ahmad Al-Muhajir memiliki 4 orang putra, yaitu:

1.       Sayyid ‘Ali,

2.       Sayyid Husain,

3.       Sayyid ‘Abdulloh /‘Ubaidulloh, ikut bersama ayahnya Hijrah ke Hadlromaut,

4.       Sayyid Muhammad, ditinggal di Bashroh untuk menjaga harta keluarganya hingga wafat, dan memiliki keturunan di sana.

 

(“Syamsudz-Dzohiroh” dan “Asy-Syajarotuz-Zakiyyah”)

 

والله أعلم بالصواب


Oleh: Abi Kayyis Al-Mahdawi


Bersambung


Semoga Bermanfaat

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketujuh

 

Kisah Ki Bagus Rangin

Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”

Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir

 

Bagian Ketujuh

 

Strategi Dalam Perang Kedongdong

 

Syahdan, dalam Perang Kedongdong, banyak strategi perang yang digunakan, diantaranya dikenal dengan perang “Tutup Kembu”, yaitu memancing musuh masuk perangkap. Saat itu, para pejuang memancing Belanda keluar dari benteng, kemudian mengejar sampai ke markas pejuang di daerah “Jatitujuh”, Majalengka. Setelah masuk perangkap, pejuang langsung mengepung dan membantai pasukan penjajah.

Selain Tutup Kembu, salah satu strategi yang digunakan adalah strategi “Suluhan” yang efektif sebelum bocor dan diketahui Belanda. Melalui strategi suluhan ini, pasukan Belanda yang dipersenjatai meriam dan bedil mampu diporak porandakan oleh para pejuang yang hanya bersenjatakan panah, golok dan beberapa bedil yang kadang macet bahkan tak berfungsi karena ketiadaan peluru.

“Suluh” yang dimaksud adalah Obor”, sebab strategi mereka dalam berperang menggunakan obor. Obor yang digunakan untuk keperluan penerangan, dan menjadi ciri khas keberadaan orang di malam hari, dimanfaatkan pejuang untuk mengelabui musuh. Pasukan Belanda yang siaga menghadapi perlawanan di siang hari tidak dihiraukan para pejuang yang memilih masuk ke hutan sambil menunggu gelapnya malam.

Ketika malam datang, para pejuang muncul bergerak memancing Belanda dengan memasang ribuan suluh / obor palsu yang ditancapkan begitu saja, hingga dari kejauhan Belanda menganggap para pejuang akan melakukan penyerangan. Para pejuang juga menangkap kunang-kunang sebanyak-banyaknya kemudian dilepaskan di sekitar suluh, sehingga dari jauh cahaya kunang-kunang dan obor palsu yang telah disediakan seolah-olah bergerak mendekat. Belanda kemudian tanpa ampun menembaki sumber cahaya dengan meriam dan bedil, sementara disisi lain para pejuang membunyikan kentong dan gendang serta berteriak kencang seolah-olah mereka selamat dari tembakan meriam.

Manakala meriam Belanda kehabisan pelurunya, serta bunyi bedil tidak terdengar lagi, para pejuang yang sebelumnya bersembunyi jauh dari suluh / obor baru bergerak maju. Mereka mengepung, menyergap, dan membantai tentara Belanda yang kebingungan dengan tembakan anak panah, sabetan golok, hingga membalas dengan bedil sekenanya.

Kabar mengenai kekalahan telak Belanda oleh para pejuang sebetulnya tercatat dalam berita kolonial, dan Residen Cirebon dalam suratnya tanggal 30 Januari 1818 memberitahukan bahwa serangan umum pada kaum perlawanan ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1818 dan dengan optimis dia berkata: “kita akan dapat segera mengetahui berhasilnya operasi militer itu.” 

Namun, serangan umum pada awal Februari yang telah disiapkan dengan lengkap itu justru mengalami kekalahan, karena adanya masalah pemegang komando yang berdampak buruknya mental dan kedisiplinan pasukan sebagaimana laporan Residen Cirebon tanggal 4 Februari 1818, yang menyebutkan: “Pasukan tidak bertahan karena sikap pengecut dari pasukan pribumi dan pasukan Madura yang sebagian besar melarikan diri sebelum melepaskan tembakan”.

Kabar yang tersirat dalam laporan Residen Cirebon tersebut tentu tidak sepenuhnya benar, karena sebetulnya tentara Belanda yang di dalamnya terdapat tentara dari kalangan pribumi melarikan diri karena ketakutan selepas  peluru yang mereka miliki habis terbuang sia-sia akibat dari penggunaan strategi “Suluhan” oleh para pejuang.

Strategi Suluhan terbukti efektif dalam pertempuran malam, oleh karena itu strategi ini selalu digunakan pejuang berkali-kali, dan selama itu pula selalu mendapatkan kemenangan. Akan tetapi manakala strategi ini bocor, Belanda tidak lagi mampu dijebak. Di kemudian hari para pejuang pun menggunakan strategi lainnya yang tak kalah cerdasnya.

Ancaman pengeboman Makam Kanjeng Sunan, akhirnya berhasil meredakan hingga memadamkan perang yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Belanda lalu memburu dan menumpas para pengikut Bagus Rangin dan lainnya secara membabi buta.

Perlu diingat kembali, “Perang Kedongdong” adalah perang terbesar perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda yang luput dari “Sejarah Nasional”. Jauh sebelumnya sudah terjadi perlawanan dari para Kiyai dan kaum santri di bawah pimpinan “Kiyai Jatira”, “Kiyai Ardisela”, “Mbah Muqoyyim”, dan para “Laskar Ardisela”. Insya Allah, perjalanan hidup mereka akan penulis ceritakan dalam buku selanjutnya.

 

Walloohu A’lam Bish-Showaab

Semoga bermanfaat

 

(Tamat)

Baca juga:

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketiga

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keempat

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kelima

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keenam

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keenam

 

Kisah Ki Bagus Rangin

Diambil dari buku “Pelangi Di Bumi Pertiwi”

Karya: Abu Kayyis ‘Abdul Qodir

 

Bagian Keenam

 

Akhir Perang Kedongdong

 

Syahdan, pada tanggal 1 Februari 1818, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letkol Richemont mulai bergerak dari wilayah kota Cirebon menuju “Jamblang”, untuk memulai serangan ke wilayah Kedongdong yang dianggap pusat dari kelompok Bagus Jabin. Di tempat itu Letkol Richemont dan pasukannya menunggu dengan harapan besoknya bisa melancarkan serangan.

Namun, pada saat itu juga muncul Overste Hoorn dengan menunjukkan putusan panglima untuk mengangkat dirinya sebagai komandan operasi. Richemont dengan pasrah mematuhi perintah panglima tentara walaupun ia lebih tua dan diangkat atas dasar surat keputusan dari Gubernur Jenderal sebagai Wali Negara Hindia Belanda. Dengan perasaan tersinggung ia menyerahkan tongkat komandonya. Namun, di balik sikapnya yang terpuji ia melakukan tindakan desersi. Ia meninggalkan detasemennya dan kembali ke Tangkil, ibukota Cirebon.

Penggantian tersebut menimbulkan ketidakpuasan diantara para prajurit Belanda, seperti Kapten Mulder, Letnan van Steenis dan Kapten van Gent yang bertugas untuk mengepung dan menyerang Kedongdong. Kondisi mental prajurit ini membuat rencana penyerangan mengalami kegagalan dan pasukan terpaksa mundur ke Palimanan. Pasukan Bagus Jabin terus mengejar mereka, namun Pasukan Belanda mendapatkan bantuan dari pasukan Bengali dan pasukan berkuda pimpinan Letnan Borneman dan Kapten Elout. Dengan bantuan pasukan yang baru, Belanda akhirnya dapat menghentikan pasukan Bagus Jabin, yang lalu mundur sampai ke seberang sungai Sikaro, anak sungai Cimanuk.

Masih tanggal 1 Februari 1818, Richemont menulis surat kepada Gubernur Jenderal dan menjelaskan duduk perkara yang sesungguhnya. Sudah tentu Gubernur Jenderal merasa dikerjai oleh Panglima Perangnya, Jenderal Anthing. Maka keluarlah Keputusan Pemerintah No. 8 tanggal 6 Februari 1818 yang memerintahkan kepada panglima tentara untuk mengirim penjelasan tentang alasan-alasan penyerahan komando kepada Letkol Hoorn atas pasukan-pasukan yang berada di Cirebon. Jenderal Anthing kemudian menjawabnya lewat surat No. 31 tanggal 17 Februari, bahwa Reichemont telah menunjukkan sikap yang tercela pada saat itu. Hoorn juga menerima peringatan keras tentang tingkah lakunya.

Pemerintah Belanda lalu mengumumkan akan memberi hadiah 500 Real Spanyol (Sp M) bagi yang bisa menangkap hidup-hidup para pemimpin besar seperti Bagus Jabin dan Nairem, 250 Real Spanyol (Sp M) bagi yang dapat menangkap pemimpin bawahan, dan 100 Real Spanyol (Sp M) bagi yang dapat menyerahkan anggota pejuang.

Tanggal 25 Februari 1818 Nairem dapat ditangkap, dan setelah itu wilayah Rajagaluh, Kedongdong, dan Palimanan dapat dikendalikan. Untuk menjaga keamanan daerah-daerah tersebut dibangunlah sarana militer dan penempatan pasukan.

Pada saat Belanda sedang membangun sarana militer di Palimanan, Bagus Serit bersama dengan 50 orang pasukan datang menghancurkan sarana dan prasarana militer tersebut, serta merampas senjata dan pakaian yang ada disana. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Krieger mundur ke wilayah “Kalitanjung dan berusaha untuk menghimpun kekuatan kembali.

Belanda kemudian mengumumkan akan memberikan 2.200 Gulden pada siapa saja yang dapat menangkap Bagus Serit hidup atau mati.

Tanggal 8 Agustus 1818 terjadi pertempuran antara pasukan Bagus Serit dengan pasukan Belanda di sekitar wilayah Sumber. Pada saat itu, pasukan Belanda sempat mengalami kekalahan, namun pasukan Sultan Sepuh Raja Udaka datang membantunya. Kedatangan pasukan dari Kesultanan Kasepuhan yang di luar dugaan membuat pasukan Bagus Serit akhirnya terpukul mundur. Dalam pertempuran ini, dengan tubuh penuh luka Bagus Serit dapat ditangkap pasukan Raja Udaka. Untuk keberhasilannya menangkap Bagus Serit, Raja Udaka mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Nairem dan Bagus Serit diseret dibawa ke meja pengadilan. Suasana persidangan dengan terdakwa dua tokoh pejuang berlangsung begitu menegangkan. Banyak saksi dan bukti yang dibuat-buat untuk penguat vonis kesalahan mereka berdua. Pembelaan dari banyak tokoh tidak ada artinya dalam persidangan yang didominasi kebencian. Para pendukung yang berteriak akan terdiam saat pucuk senapan diarahkan pada mereka. Tidak sedikit yang terkapar karena nekat meronta mencoba melawan.

Putusan dibacakan yang intinya bahwa terdakwa Nairem dan Bagus Serit terbukti telah melakukan makar dengan memimpin pemberontak berbuat onar di wilayah pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan surat keputusan pengadilan pemerintah Belanda, akhirnya Nairem dan Bagus Serit divonis hukuman mati.

Sore itu pada tanggal 31 Oktober 1818, di hari Sabtu yang kelabu, saat senja mulai redup diantara angin yang malas bertiup, dua tubuh yang tampak rapuh dengan tangan terikat kuat berjalan tertatih-tatih. Matanya yang tampak liar menatap sekitar gambaran semangat jiwa yang terus berkobar. Entah sudah berapa kali ayunan cambuk mendarat di sekujur tubuh yang membilur biru melepuh. Terseret-seret kaki melangkah maju berat membawa beban belenggu. Popor bedil kembali menghantam saat lelah menyergap menghentikan langkah.

Sepanjang jalan bercecer darah menggaris noktah sejarah beratnya pengorbanan dalam perjuangan melawan penjajah. Senyum sinis di bibir mencibir anjing penjilat yang tertawa puas menjijikkan. Derap kaki para serdadu bersenjata lengkap menggiring langkah dua sosok putra daerah yang terseok-seok bersusah payah untuk terus berjalan. Langit semakin kelam saat mendung turun di senja yang mencekam. Syahdu mendayu kicau burung bersenandung kidung nestapa di belantara. Pilu dan sendu irama alam mengalun menuntun lantunan sya’ir menyayat hati.

“Ya Allah Robbi, inilah kami... Mohon diterima apa adanya...”

“Mohon akhiri perjalanan ini... Dalam balutan Husnul Khotimah...”

Hutan Sumber menjadi saksi, saat alam menangis diantara rintik gerimis. Kabut dingin mendekap hati memeluk kalbu yang rindu bertemu sang kekasih abadi. Dua pasang mata terpejam mengulum senyum saat tali dari tihang gantungan dipasang di leher dua pahlawan. Nyata dalam pandangan keduanya, banyak bayangan putih yang tersenyum sangat manis turun dari langit melambai mengulurkan tangan. Begitu ringan tangan menyambut menuntun diri melayang di suasana alam yang cerah berseri di taman asri yang belum pernah mereka temui.

Dua pasang mata menatap haru dari kejauhan. “Perjuangan kalian takan pernah berhenti di tangah jalan,” lirih tertahan kalimat keluar dari salah satunya. “Akan lahir kembali Bagus Serit yang lain dan Nairem  yang baru,” sambung orang yang ada di sebelahnya.

Selain Bagus Serit dan Nairem yang dijatuhi hukuman gantung di hutan Sumber, para pemimpin perlawanan yang lain dijatuhi hukuman dera dan dibuang selama 7 tahun dengan memakai rantai besi. 14 orang pengikut setia dari Bagus Serit dihukum kerja paksa seumur hidup di perusahaan Belanda di “Banda” (salah satu gugusan pulau yang berada dalam wilayah Maluku), dan 7 orang lainnya dihukum kerja paksa di kebun kopi “Banyuwangi”.

Sementara itu, pemerintah Hindia Belanda masih terus memburu tokoh utama dari para pemberontak ini. Bagus Jabin dan Ki Arsitem seakan lenyap di telan alam. Pemberontakan masih terus saja terjadi di berbagai wilayah meski tak sedahsyat sebelumnya, dan tanpa diketahui tokoh yang menjadi pimpinannya. Konon, pemberontakan baru berhenti ketika Belanda mengancam para pemberontak dengan menyiapkan bom yang akan diledakkan di makam “Sunan Gunung Jati”.

Setelah ditangkapnya para pejuang dan berhentinya pemberontakan, sudah dapat dipastikan Belanda semakin merajalela di Cirebon. Kerja Rodi, penarikan pajak, serta peraturan-peraturan pemerintahan Belanda yang sewenang-wenang semakin menindas rakyat. 

Pasca sederetan peristiwa perjuangan rakyat Cirbon dan sekitarnya, ada beberapa hal yang terjadi, diantaranya:

-          Dibangunnya benteng di wilayah Tomo (Sumedang) dan wilayah Palimanan (Cirebon).

-          Pangeran Kusumahdinata IX dari Sumedang, secara resmi diberikan pangkat Pangeran dan penghargaan Bintang Emas oleh Belanda.

-          Raden Surialaga II secara resmi diberikan pangkat Adipati dan dijadikan bupati Indramayu, namun karena ada peristiwa perubahan sebagian tanah Indramayu menjadi tanah partikelir maka Raden Surialaga II dipindah tugaskan menjadi bupati di “Sukapura” (sekarang sekitar Tasikmalaya dan Garut).

Dalam menghadapi pemberontakan kelompok Bagus Rangin ini, Belanda mengalami kerugian mencapai 1.830 florijn (Gulden), dalam riwayat lain mencapai 150.000 Gulden.

 

Walloohu A’lam Bish-Showaab

Semoga bermanfaat

 

Bersambung ke bagian ketujuh “Strategi Dalam PerangKedongdong

Baca juga:

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Pertama

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kedua

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Ketiga

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Keempat

Kisah Ki Bagus Rangin Bagian Kelima